Polemik Pernikahan Dini di Lombok Tengah: Tradisi Kontra Undang-Undang

Pernikahan Anak di Lombok Tengah Picu Perdebatan tentang Tradisi dan Hukum

Kasus pernikahan anak di bawah umur yang viral di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), memicu perdebatan sengit antara pelestarian tradisi dan penegakan hukum. Kepala Dusun Petak Daye I, Syarifudin, mengungkapkan permohonan maaf atas kegaduhan yang timbul akibat pernikahan tersebut. Ia mengaku telah berupaya sekuat tenaga untuk mencegah pernikahan tersebut, namun terbentur oleh kuatnya tradisi merariq atau kawin culik yang masih mengakar di masyarakat.

Syarifudin menjelaskan bahwa insiden bermula ketika seorang pemuda berusia 17 tahun membawa kabur seorang gadis berusia 15 tahun yang masih duduk di bangku SMP. Upaya mediasi yang dilakukan oleh perangkat desa sempat berhasil memisahkan keduanya. Akan tetapi, pemuda tersebut kembali membawa kabur gadis tersebut ke Pulau Sumbawa selama dua hari dua malam. Tindakan ini semakin memperumit situasi, karena menurut tradisi setempat, seorang wanita yang telah dibawa pergi memiliki konsekuensi sosial yang berat jika tidak dinikahkan.

Keterbatasan Upaya Pencegahan

Syarifudin mengakui bahwa pihak keluarga perempuan menolak untuk memisahkan anaknya setelah dibawa kabur ke Sumbawa. Tekanan sosial dan norma adat memaksa mereka untuk merestui pernikahan tersebut. Ia juga menambahkan bahwa tradisi kawin culik merupakan warisan turun temurun yang sulit dihilangkan, terutama di wilayah pedesaan.

"Kita di suku Sasak, lebih-lebih di bagian pedesaan, untuk perempuan yang dibawa ke luar, sanksinya memang harus nikah karena ada tradisi memaling atau kawin culik," ujar Syarifudin.

Lebih lanjut, Syarifudin mengungkapkan kekecewaannya karena imbauan untuk tidak mengadakan acara kesenian selama prosesi adat nyongkolan (acara pernikahan) tidak diindahkan oleh masyarakat.

Implikasi Hukum dan Tindakan Lembaga Perlindungan Anak

Kasus pernikahan anak ini telah dilaporkan ke Polres Lombok Tengah oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram. Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi, menegaskan bahwa pernikahan anak di bawah umur merupakan tindak pidana yang dapat diancam hukuman hingga 9 tahun penjara. Larangan perkawinan anak diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Dilema antara Tradisi dan Perlindungan Anak

Kasus ini menyoroti dilema kompleks antara menghormati tradisi dan melindungi hak-hak anak. Di satu sisi, tradisi merupakan bagian dari identitas budaya masyarakat yang perlu dilestarikan. Namun, di sisi lain, pernikahan anak melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan tumbuh kembang yang optimal. Pemerintah dan tokoh masyarakat perlu mencari solusi yang bijaksana untuk mengatasi permasalahan ini, dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya yang ada.