KPU Tanggapi Tuduhan Pelanggaran Etik dan Dugaan Mark-up dalam Penyewaan Jet Pribadi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan penjelasan terkait laporan yang diajukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengenai dugaan pelanggaran etik dalam proses pengadaan jet pribadi untuk keperluan Pemilu 2024. KPU menegaskan bahwa penyewaan jet pribadi tersebut semata-mata didasari oleh kebutuhan teknis mendesak demi kelancaran penyelenggaraan pemilu.
Laporan dugaan pelanggaran etik ini sebelumnya juga telah diajukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Transparency International Indonesia (TI Indonesia). TI Indonesia menyoroti adanya potensi kejanggalan terkait nilai kontrak penyewaan jet pribadi tersebut. Menurut mereka, terdapat selisih yang signifikan antara pagu anggaran yang ditetapkan dengan nilai kontrak yang disepakati. TI Indonesia juga menuding KPU kurang transparan dalam mengelola anggaran pengadaan jet pribadi, serta adanya indikasi penggunaan jet pribadi untuk perjalanan dinas ke lokasi yang sebenarnya dapat diakses dengan penerbangan komersial.
Selain itu, TI Indonesia bersama Themis Indonesia dan Trend Asia turut melaporkan KPU ke DKPP terkait pengadaan jet pribadi yang dinilai bermasalah sejak tahap perencanaan. Pihak-pihak yang dilaporkan meliputi Ketua KPU RI, anggota KPU RI, dan Sekretaris Jenderal KPU RI. Laporan tersebut didasarkan pada dugaan pelanggaran terhadap sejumlah pasal dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Trend Asia menyoroti adanya selisih antara anggaran penyewaan jet pribadi yang dilakukan KPU dengan perhitungan yang mereka lakukan. Selisih tersebut mencapai sekitar Rp 30 miliar. Meski demikian, Trend Asia menekankan bahwa dugaan adanya penggelembungan anggaran tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut melalui proses hukum yang berlaku.
Menanggapi berbagai tuduhan tersebut, Komisioner KPU, Afif, menjelaskan bahwa penggunaan jet pribadi dilakukan untuk memastikan seluruh tahapan pemilu berjalan lancar. Ia menekankan bahwa masa kampanye Pemilu 2024 lebih singkat dibandingkan Pemilu 2019, sehingga KPU dituntut untuk bekerja lebih efisien. Afif menegaskan bahwa kebijakan penyewaan jet pribadi diambil semata-mata untuk memastikan tidak ada keterlambatan atau kesalahan dalam pengiriman logistik pemilu, serta untuk mempercepat koordinasi antar wilayah.
Afif menambahkan bahwa pada awalnya, jet pribadi memang direncanakan untuk digunakan di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Namun, dalam perkembangannya, kebutuhan mendesak juga muncul di daerah lain. Oleh karena itu, penggunaan jet pribadi tidak terbatas hanya pada daerah 3T, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan mobilitas lintas pulau dalam waktu yang sangat singkat. Afif menegaskan bahwa hal ini murni merupakan kebutuhan teknis, bukan gaya hidup.
Lebih lanjut, Afif menjelaskan bahwa KPU justru melakukan efisiensi dalam pembayaran kontrak jet pribadi. Dari total nilai kontrak awal sebesar Rp 65 miliar, KPU hanya membayar sekitar Rp 46 miliar, sesuai dengan penggunaan yang sebenarnya. Dengan demikian, terdapat efisiensi sebesar Rp 19 miliar. Afif juga menegaskan bahwa seluruh proses penggunaan anggaran dilakukan secara transparan, terdata, dan telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Afif meyakini bahwa dengan monitoring yang dilakukan secara intensif, KPU berhasil meminimalisir kesalahan dalam pengadaan, pengepakan, dan distribusi logistik Pemilu 2024. Ia mengklaim bahwa daerah-daerah yang sebelumnya sering mengalami keterlambatan logistik, dapat diselesaikan tepat waktu pada Pemilu 2024. Secara keseluruhan, KPU berhasil melakukan efisiensi anggaran logistik Pemilu 2024 sekitar Rp 380 miliar.