Eksistensi Suku Balik: Penjaga Tradisi di Tengah Pembangunan Ibu Kota Nusantara

Di jantung Kalimantan Timur, di antara hiruk pikuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), tersembunyi sebuah komunitas adat yang jarang terdengar: Suku Balik. Mereka adalah penjaga tradisi dan kearifan lokal di wilayah yang kini menjadi pusat perhatian nasional.

Suku Balik, yang namanya diabadikan dalam nama kota Balikpapan, memilih untuk hidup dalam kesederhanaan dan menghindari publisitas. Sikap ini kontras dengan suku-suku lain di Kalimantan Timur yang dikenal dengan kekayaan seni dan budaya mereka. Namun, ketertutupan Suku Balik bukan berarti mereka tidak memiliki sejarah dan identitas yang kuat. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari lanskap budaya Kalimantan Timur.

Jejak Sejarah di Tanjung Gonggot

Menurut catatan sejarah, Suku Balik awalnya mendiami wilayah Tanjung Gonggot, sebuah kawasan yang kini menjadi bagian dari Kota Balikpapan. Di sana, mereka hidup selaras dengan alam, mengandalkan hutan dan laut sebagai sumber kehidupan. Mereka menjalin hubungan dengan Kerajaan Kutai dan Kesultanan Paser, berpartisipasi dalam pembangunan kerajaan dan berkontribusi pada dinamika perdagangan maritim.

Pada abad ke-18, wilayah ini berada di bawah pengaruh Kerajaan Kutai, yang menguasai pesisir Kalimantan Timur. Suku Balik turut serta dalam pembangunan kerajaan, bahkan beberapa tokoh adatnya diangkat sebagai pejabat wilayah, menunjukkan pengakuan terhadap keberadaan mereka.

Asal Usul Nama Balikpapan

Legenda lokal mengisahkan bahwa nama Balikpapan berasal dari peristiwa ketika Sultan Kutai Aji Muhammad Idris memerintahkan pengumpulan 1.000 lembar papan untuk pembangunan istana. Beberapa papan tersebut terbalik dan hanyut, terbawa arus kembali ke teluk. Cerita ini, bersama dengan legenda Kayun Kuleng di kalangan masyarakat Paser, menjadi cikal bakal nama kota Balikpapan.

Migrasi ke Sepaku

Seiring dengan perkembangan industri minyak di Balikpapan pada akhir abad ke-19, Suku Balik terdorong untuk berpindah ke wilayah Sepaku. Mereka menyusuri Teluk Balikpapan dan Sungai Sepaku, hingga akhirnya menetap di wilayah yang mereka sebut Benuo Sepaku.

Benuo Sepaku meliputi desa dan kelurahan Sepaku, Karang Jinawi, Bukit Raya, Suka Raja, Tengin Baru, dan Bumi Harapan. Wilayah ini berbatasan dengan komunitas adat lainnya, seperti Basap di Jonggon dan Basap Mentawir.

Benuo Sepaku: Rumah Baru di Tengah Hutan

Di Benuo Sepaku, Suku Balik kembali menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. Mereka berladang, berburu, dan menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, kehidupan mereka tidak selalu berjalan mulus. Pada tahun 1920, wabah misterius bernama delanan menyerang komunitas ini, menyebabkan kematian massal dan memaksa mereka untuk mengungsi.

Wabah delanan, yang diyakini disebabkan oleh kesalahan dalam ritual adat, mengakibatkan penurunan drastis populasi Suku Balik. Banyak yang meninggalkan Benuo Sepaku untuk mencari tempat yang aman, meninggalkan tanah dan kebun mereka.

Bangkit dari Keterpurukan

Setelah wabah mereda, sebagian anggota Suku Balik kembali ke Sepaku. Kesultanan Kutai kembali aktif dan mengangkat tokoh adat dari kalangan Suku Balik untuk mengatur masyarakat. Namun, kedatangan Belanda dan Jepang membawa tantangan baru, dengan kerja paksa dan pendudukan militer yang mengganggu kehidupan mereka.

Era Modern dan Tantangan Baru

Setelah kemerdekaan Indonesia, Suku Balik menghadapi tantangan baru, termasuk gangguan keamanan dari kelompok bersenjata dan perubahan sosial ekonomi yang pesat. Mereka memasuki era modern tanpa persiapan yang memadai, menghadapi tekanan dari luar yang mengancam identitas dan tradisi mereka.

Perhatian Otorita IKN

Di tengah pembangunan IKN, Otorita IKN memberikan perhatian khusus terhadap perlindungan masyarakat adat, termasuk Suku Balik. Mereka menyusun Rancangan Peraturan Kepala (Ranperka) OIKN untuk memberikan kepastian hukum bagi kearifan lokal di IKN.

Otorita IKN berkomitmen untuk tidak menghilangkan apa yang sudah ada di masyarakat dan terus berdiskusi dengan berbagai pihak untuk menemukan solusi terbaik dalam melindungi kearifan lokal. Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono, menegaskan bahwa masyarakat adat tetap merupakan warga IKN dan akan berusaha meningkatkan taraf kehidupan mereka.

Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara juga telah membuat payung hukum berupa Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2017 untuk melestarikan adat istiadat lokal. Dengan adanya regulasi ini, Suku Balik diharapkan tidak perlu khawatir tergusur dari wilayah adat atau tempat tinggal mereka.

Suku Balik, dengan segala sejarah dan tradisinya, adalah bagian tak terpisahkan dari identitas Kalimantan Timur. Di tengah pembangunan IKN, penting untuk memastikan bahwa hak-hak mereka terlindungi dan kearifan lokal mereka tetap lestari. Mereka adalah penjaga tradisi yang berharga, yang pantas mendapatkan pengakuan dan dukungan.