Regulasi Kecerdasan Buatan dalam RUU Penyiaran: Antara Inovasi Jurnalistik dan Perlindungan Publik
Regulasi Kecerdasan Buatan dalam RUU Penyiaran: Antara Inovasi Jurnalistik dan Perlindungan Publik
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah membahas Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Dalam proses pembahasan tersebut, muncul usulan penting terkait pengaturan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam industri jurnalistik. Usulan ini mengemuka dari kalangan lembaga penyiaran nasional yang melihat AI sebagai realitas tak terhindarkan di dunia penyiaran masa kini. Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno, menekankan perlunya regulasi yang jelas dalam RUU Penyiaran untuk mengantisipasi dan mengatur pemanfaatan AI dalam produksi program siaran.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, Brotoseno memaparkan pengalaman TVRI menggunakan AI untuk memproduksi program dialog Presiden dengan petani. Ia menjelaskan bahwa penggunaan AI terbukti mampu membantu proses produksi, terutama di tengah keterbatasan sumber daya manusia. Penggunaan AI ini, menurut Brotoseno, menjadi solusi efektif, khususnya dalam kondisi di mana keterbatasan sumber daya manusia ASN menjadi kendala. Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Utama LKBN Antara, Akhmad Munir, yang mendorong pengaturan inovasi jurnalistik berbasis AI dan otomatisasi penyiaran untuk meningkatkan daya saing media nasional di era digital.
Namun, Munir juga menyoroti pentingnya perlindungan data pengguna Indonesia. Ia mengingatkan potensi penyalahgunaan data oleh platform digital asing untuk memanipulasi opini publik. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya mekanisme kontrol yang efektif terhadap algoritma distribusi berita oleh platform global. Mekanisme ini krusial untuk mencegah penyebaran konten yang memicu polarisasi sosial atau manipulasi opini publik. Hal ini menjadi sorotan mengingat draf RUU Penyiaran sebelumnya sempat menuai kontroversi, bahkan dikhawatirkan mengancam kebebasan pers karena pasal-pasal tertentu yang dinilai membatasi jurnalistik investigasi.
RUU Penyiaran yang sedang dibahas ini merupakan salah satu dari 41 rancangan/revisi undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025. Pembahasan RUU ini mendapatkan perhatian besar mengingat perdebatan sebelumnya yang melibatkan isu kebebasan pers dan potensi pembatasan terhadap jurnalistik investigasi, seperti yang tertuang dalam draf RUU Penyiaran versi Maret 2024. Pasal 50B ayat (2) dalam draf tersebut misalnya, mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, disertai sanksi tegas pada ayat (3) dan (4), mulai dari teguran tertulis hingga pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Oleh karena itu, pembahasan RUU Penyiaran saat ini perlu mempertimbangkan secara matang aspek inovasi jurnalistik dengan teknologi AI, perlindungan data publik, serta tetap menjamin kebebasan pers dan mencegah manipulasi opini publik.
Di tengah dinamika perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, RUU Penyiaran diharapkan mampu menjadi payung hukum yang responsif, adaptif, dan melindungi kepentingan publik. Regulasi yang seimbang antara mendorong inovasi dan melindungi masyarakat menjadi kunci keberhasilan RUU Penyiaran dalam menghadapi tantangan era digital.