Jejak Arsitektur Kolonial: Mengungkap Kisah Bank Dagang Belanda di Ampenan

Di jantung Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), berdiri sebuah bangunan saksi bisu sejarah. Bangunan bercat cokelat dengan jendela-jendela kayu besar itu adalah bekas Bank Dagang Belanda, sebuah relik dari masa lalu yang kaya akan cerita.

Usia bangunan ini telah mencapai 131 tahun. Meskipun catnya sedikit terkelupas, tidak ada lumut atau tumbuhan lain yang mengotori temboknya. Menurut budayawan Sasak, Lalu Sajim, material bangunan ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Batu, bata, dan pasir semuanya berasal dari wilayah setempat. Namun, teknik pengerjaannya yang membedakannya.

"Orang-orang Belanda yang datang ke Ampenan memiliki teknik yang berbeda dengan kebanyakan warga pribumi saat membangun rumah," ujar Mik Sajim, sapaan akrabnya.

  • Pasir diaduk berhari-hari hingga airnya hilang dan debunya mengendap.
  • Kapur juga diaduk dengan cermat.
  • Bata direndam berhari-hari agar daya serapnya maksimal saat dipasang.

Bata-bata yang digunakan untuk membangun gedung Bank Dagang Belanda diperlakukan dengan sangat hati-hati. Setiap batu dibersihkan satu per satu agar tidak ada debu yang menempel. Tujuannya adalah untuk menghindari rongga udara di dalam bangunan yang dapat menyebabkan korosi. Untuk campuran bangunan, mereka menggunakan kapur dari Sekotong, Lombok Barat, dan kayu dari Lingsar, Suranadi, Lombok Barat. Batu-batu berasal dari Jangkuk, Narmada, dibersihkan satu per satu.

Bangunan Bank Dagang Belanda di kawasan Eks Pelabuhan Ampenan dibangun pada akhir abad ke-19. Setelah tentara Belanda mundur pada tahun 1941 dan tentara Jepang masuk, bangunan ini tidak lagi berfungsi sebagai bank dagang. Meskipun demikian, bangunan ini tetap kokoh berdiri seolah tak termakan usia.

Bank Dagang Belanda dibangun pada tahun 1894 sebagai bagian dari politik etis atau politik balas budi antara Belanda dan pribumi. Program ini mencakup perbaikan di bidang pendidikan dan ekonomi. Di bidang ekonomi, pemerintah kolonial Belanda mendirikan pegadaian dan perbankan, termasuk Bank Dagang Belanda di Ampenan.

Bank Dagang Belanda dulunya berfungsi sebagai tempat menabung bagi para pribumi kaya. Bank ini memfasilitasi masyarakat yang perekonomiannya mulai bangkit, terutama dari sektor pertanian. Ciri khas bank ini adalah 12 jendela besar yang menghadap ke timur dan utara bangunan.

Bank Dagang Belanda berhenti beroperasi sejak Jepang masuk ke Mataram sekitar tahun 1942. Diharapkan bangunan ini dapat menjadi cagar budaya karena merupakan salah satu peninggalan sejarah dari abad ke-19.

Zahra, seorang warga Mataram, mengaku baru mengetahui keberadaan Bank Dagang Belanda di kawasan Eks Pelabuhan Ampenan. Area di depan bank sering ditutup pagar sehingga tidak terlihat dari luar. Tidak ada petunjuk atau papan informasi yang menjelaskan bahwa bangunan tersebut adalah bekas Bank Dagang Belanda.