Polemik Ijazah Jokowi: Penghentian Penyelidikan Polri Tuai Sorotan

Penghentian penyelidikan dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menuai berbagai reaksi. Meskipun Polri telah menyatakan tidak menemukan unsur pidana dalam laporan tersebut, seorang pengamat kepolisian justru menilai keputusan ini belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Bambang Rukminto, pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (Isess), berpendapat bahwa hasil penyelidikan polisi bukanlah sebuah yurisprudensi yang dapat dijadikan dasar untuk menghentikan sebuah perkara secara permanen. Ia menekankan bahwa dalam sistem peradilan pidana, tugas kepolisian adalah sebagai penyidik, bukan sebagai pihak yang berwenang menjatuhkan vonis.

"Hanya vonis hakim di pengadilan yang bisa menghentikan perkara. Tugas kepolisian dalam sistem peradilan pidana kita sebagai penyidik, bukan pemvonis seperti hakim," tegas Bambang.

Menurut Bambang, Surat Penghentian Penyelidikan (SP2Lid) yang dikeluarkan oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri bukanlah bagian dari mekanisme peradilan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia menjelaskan bahwa suatu perkara baru dapat dihentikan secara formal melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), yang dapat diuji melalui mekanisme praperadilan.

Bambang khawatir, penghentian perkara pada tahap penyelidikan melalui SP2Lid dapat menjadi preseden buruk jika tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel. Ia menyoroti potensi penyalahgunaan wewenang oleh penyidik yang mungkin enggan melakukan penyelidikan atau penyidikan, yang pada akhirnya dapat menghambat proses penegakan hukum.

"Bayangkan kalau penyidik tidak mau melakukan penyelidikan maupun penyidikan, kasus tersebut bisa dipastikan tidak akan berjalan," ujarnya.

Dalam situasi seperti ini, Bambang menilai bahwa satu-satunya cara untuk mengoreksi adalah melalui mekanisme pengawasan internal seperti Propam, Wasidik, atau Irwasum Polri. Namun, ia juga mengkhawatirkan objektivitas penilaian karena mekanisme ini berada dalam satu lembaga yang sama.

Sebelumnya, Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menyatakan bahwa penyelidikan laporan dugaan ijazah palsu Jokowi dihentikan setelah uji laboratorium forensik (labfor) menunjukkan bahwa ijazah tersebut identik dengan pembanding rekan seangkatannya di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Dari proses pengaduan dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbuatan pidana sehingga perkara ini dihentikan penyelidikannya," kata Djuhandhani.

Djuhandhani menjelaskan bahwa penyelidik telah mendapatkan dokumen asli ijazah Sarjana Kehutanan atas nama Joko Widodo dengan NIM 1681 KT yang dikeluarkan pada tanggal 5 November 1985. Ijazah tersebut juga telah diuji secara laboratorium dengan sampel pembanding dari tiga rekan seangkatan Jokowi. Hasilnya menunjukkan bahwa bahan kertas, pengaman kertas, teknik cetak, tinta tulisan tangan, cap stempel, dan tinta tanda tangan milik dekan dan rektor identik atau berasal dari satu produk yang sama.

Berikut poin penting dalam berita ini:

  • Bareskrim Polri menghentikan penyelidikan dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi.
  • Pengamat kepolisian menilai penghentian penyelidikan belum berkekuatan hukum tetap.
  • SP2Lid bukan bagian dari mekanisme peradilan pidana.
  • Penghentian perkara bisa menjadi preseden buruk jika tidak transparan dan akuntabel.
  • Uji labfor menyatakan ijazah Jokowi identik dengan pembanding rekan seangkatannya.

Kontroversi seputar ijazah Presiden Jokowi ini menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan di kalangan ahli hukum dan pengamat politik.