Inisiatif Koperasi Merah Putih: Ambisi Pemerintah atau Langkah Mundur Ekonomi Desa?
markdown Pemerintah Indonesia berencana meluncurkan program ambisius untuk mendirikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh desa, sebuah langkah yang diklaim sebagai upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Program yang akan diluncurkan pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional, ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025. Setiap koperasi akan diberikan modal awal antara Rp 3 miliar hingga Rp 5 miliar, namun sumber pendanaan program ini masih menjadi perdebatan.
Koperasi Merah Putih diharapkan memiliki tujuh unit usaha utama, termasuk apotek, klinik, unit simpan pinjam, kantor koperasi, pengadaan sembako, pergudangan (termasuk cold storage), dan logistik. Selain itu, koperasi juga dapat mengembangkan usaha lain yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal. Namun, rencana ini memicu perdebatan, terutama mengenai sumber pendanaan dan efektivitasnya dalam meningkatkan ekonomi desa secara berkelanjutan.
Usulan pendanaan sebagian berasal dari dana desa, sementara sisanya diharapkan dari pinjaman perbankan BUMN dengan bunga rendah. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi intervensi pemerintah yang berlebihan dalam ekonomi masyarakat, terutama dengan tujuan utama menciptakan lapangan kerja di daerah. Beberapa pengamat melihat program ini sebagai langkah mundur, mengingatkan pada model ekonomi komune di China pada masa lalu.
China pernah menerapkan sistem serupa melalui "people commune" dan "brigade enterprises," yang kemudian diprivatisasi karena masalah korupsi dan inefisiensi. Pemerintah Indonesia justru mengambil langkah sebaliknya, yang menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan mengelola potensi masalah yang sama. Intervensi ekonomi melalui Koperasi Merah Putih dianggap kurang terukur, terutama karena sebagian besar unit usaha yang direncanakan bergerak di sektor perdagangan dan jasa, yang kurang memberikan dampak langsung pada sektor produksi di desa.
Unit usaha seperti apotek dan pengadaan sembako lebih berfungsi sebagai "etalase" produk dari daerah urban, sementara pergudangan dan cold storage hanya efektif jika desa memiliki produksi komoditas yang signifikan. Namun, jika produksi desa tidak meningkat, koperasi berpotensi merugi karena kesulitan menemukan pasar. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa Koperasi Merah Putih akan bersaing dengan pelaku usaha lokal yang sudah ada, menciptakan persaingan yang tidak sehat.
Pertumbuhan ekonomi pedesaan yang lambat, dengan sektor pertanian hanya tumbuh sekitar 0,70 persen pada tahun 2024, menunjukkan bahwa injeksi modal ke sektor perdagangan dan jasa mungkin tidak efektif. Hal ini justru dapat memperkecil peluang usaha lokal untuk berkembang. Jika Koperasi Merah Putih mengambil alih proyek-proyek pengadaan sembako yang selama ini dikelola oleh pelaku usaha lokal, dampaknya bisa menjadi zero-sum game, di mana hanya terjadi perpindahan pelaku ekonomi tanpa peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan.
Untuk benar-benar meningkatkan ekonomi desa, Koperasi Merah Putih seharusnya fokus pada pembiayaan kegiatan produktif dan menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh perekonomian. Misalnya, membiayai kelompok tani untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian atau mengelola potensi sumber daya alam yang belum tergarap. Dengan demikian, produktivitas desa akan meningkat, membuka peluang bagi usaha lain, termasuk perdagangan dan jasa.
Pelibatan Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) dalam pembiayaan Koperasi Merah Putih juga menimbulkan kekhawatiran. Dana sebesar Rp 400 triliun yang diproyeksikan akan diserap oleh 80.000 koperasi berpotensi meningkatkan angka kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perbankan BUMN. Koperasi yang dibangun dari nol dan diinisiasi dari atas cenderung belum bankable. Pemaksaan pembiayaan ini dapat mengarah pada "represi finansial" seperti pada masa Orde Baru, dengan risiko korupsi dan krisis ekonomi.
Pemerintah seharusnya tidak perlu mengajarkan masyarakat tentang cara berbisnis atau menyediakan kelembagaan ekonomi. Pengalaman menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal dalam berbisnis, seperti terlihat pada program food estate dan BUMDes. Sebaliknya, pemerintah seharusnya lebih fokus pada dukungan riil kepada sektor swasta, seperti yang dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan, atau mengurangi peran pemerintah dalam ekonomi seperti yang pernah dilakukan oleh China.
Sektor swasta adalah penyedia lapangan kerja utama, sementara pemerintah hanya mampu menyediakan sedikit kesempatan kerja. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih kreatif dalam mendorong pelebaran kesempatan kerja, daripada hanya membelanjakan uang negara untuk program yang kurang terukur dan berpotensi menimbulkan moral hazard.