Evaluasi Otonomi Daerah: Antara Harapan dan Dominasi Pusat

Evaluasi Otonomi Daerah: Antara Harapan dan Dominasi Pusat

Gema Reformasi bergulir, membawa serta asa besar akan otonomi daerah. Diharapkan, pelayanan publik akan semakin dekat dengan masyarakat, suara-suara dari daerah akan terakomodasi dalam kebijakan, dan pembangunan tidak lagi hanya terpusat di ibukota. Namun, dua dekade lebih berlalu, potret otonomi daerah yang ideal itu tampak meredup.

Di banyak wilayah, otonomi tereduksi menjadi sekadar urusan administratif. Kekuasaan yang sesungguhnya seolah masih bersemayam di Jakarta. Hubungan antara pusat dan daerah saat ini bukan sekadar pembagian kewenangan, melainkan tentang kendali atas arah kebijakan, penentuan anggaran, dan pemilihan pemimpin daerah. Otonomi yang seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan lokal justru kian terimpit bayang-bayang sentralisme yang tak kunjung pudar.

Sejarah dan Perkembangan Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 membuka lembaran baru reformasi pemerintahan daerah. Daerah diberi mandat luas untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Pemerintah pusat, yang sebelumnya memegang kendali penuh, mulai melonggarkan cengkeramannya dan menyerahkan sebagian kekuasaan kepada daerah. Sayangnya, perjalanan otonomi tidak selalu mulus. Gelombang revisi undang-undang justru mengoreksi semangat desentralisasi di awal. Terutama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, sejumlah urusan strategis kembali ditarik ke pusat.

Daerah kehilangan kewenangan dalam pengelolaan pendidikan menengah, pengelolaan kehutanan, hingga pengawasan pertambangan. Ironisnya, perubahan ini seringkali dipaksakan dari atas, tanpa dialog yang konstruktif dengan daerah. Ketika daerah berupaya membangun sistem pemerintahan lokal yang adaptif, pusat justru hadir dengan regulasi baru yang menyeragamkan segalanya. Sentralisme kini tidak lagi bercorak militeristik seperti di masa lalu, melainkan teknokratis dan tersembunyi dalam labirin regulasi.

Tantangan Fiskal dan Manajemen Aparatur

Secara teoritis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjanjikan desentralisasi fiskal yang lebih adil. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang masih lebar. Data dari Badan Pusat Statistik dan Badan Pemeriksa Keuangan hingga tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata lebih dari 80% anggaran kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum mampu menopang layanan dasar sekalipun.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24 Tahun 2024 menambah tekanan bagi daerah. Daerah yang tidak memenuhi belanja wajib, misalnya untuk pendidikan dan kesehatan, terancam sanksi berupa penundaan atau pemotongan dana transfer. Kebijakan ini menciptakan relasi fiskal yang timpang: pusat berhak menilai dan menjatuhkan sanksi, sementara daerah hanya bisa menerima dan melaksanakan. Akibatnya, inovasi kebijakan menjadi mahal, dan keberanian kepala daerah untuk memenuhi kebutuhan warganya tergerus oleh kekhawatiran akan sanksi fiskal dari pusat.

Ketidakseimbangan relasi juga tercermin dalam manajemen aparatur sipil negara. Kepala daerah tidak lagi memiliki kewenangan penuh dalam mengangkat atau memutasi pejabat di wilayahnya. Semua harus melalui koordinasi Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PAN-RB, dan Badan Kepegawaian Negara.

Penjabat Kepala Daerah dan Demokrasi Lokal

Penunjukan penjabat kepala daerah menjadi contoh nyata dari sentralisme yang tersembunyi. Sepanjang tahun 2024, lebih dari 200 kepala daerah dijabat oleh penjabat yang ditunjuk langsung oleh presiden. Mereka tidak dipilih oleh rakyat dan tidak bertanggung jawab kepada konstituen lokal, melainkan kepada kekuasaan pusat. Beberapa penjabat ini bahkan mengambil keputusan strategis atas nama kepentingan nasional, mengabaikan partisipasi warga lokal. Akibatnya, publik kehilangan kendali atas arah pemerintahan daerah, dan demokrasi lokal melemah oleh teknokrasi yang tidak tersentuh oleh suara rakyat.

Kekuasaan dan Narasi Pembangunan Nasional

Relasi kuasa antara pusat dan daerah saat ini bertumpu pada narasi pembangunan nasional. Program prioritas nasional, proyek strategis, hingga tata ruang kawasan industri kini ditentukan secara sepihak dari Jakarta. Pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), berdasarkan UU No. 3 Tahun 2022, menjadi simbol yang paling jelas. Otorita ini memiliki kekuasaan administratif setingkat provinsi, tetapi tanpa DPRD dan tanpa pemimpin yang dipilih rakyat. Ia hanya bertanggung jawab kepada presiden.

Logika IKN kini merambah ke daerah lain. Pemerintah pusat terus membentuk kawasan-kawasan strategis nasional, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan proyek infrastruktur berskala besar. Pemerintah daerah diminta untuk mendukung tanpa diberi ruang untuk menentukan. Ketika kekuasaan besar lahir dari pusat tanpa kontrol lokal, otonomi menjadi sebuah ilusi. Kita menyebutnya desentralisasi, tetapi praktiknya menyerupai sentralisme gaya baru.

Membangun Hubungan yang Setara

Membangun hubungan pusat dan daerah yang setara bukan sekadar membagi kekuasaan, tetapi membangun kepercayaan. Pemerintah pusat harus berhenti memperlakukan daerah sebagai pelaksana teknis semata. Sebaliknya, daerah harus diperkuat sebagai simpul demokrasi lokal.

Beberapa langkah yang perlu diambil antara lain:

  • Merevisi UU Pemerintahan Daerah dan UU Hubungan Keuangan untuk memperjelas perbedaan antara pengawasan dan intervensi. Pemerintah pusat berhak mengawasi, tetapi bukan mendikte setiap keputusan daerah.
  • Merancang desain khusus untuk daerah-daerah dengan kekhususan. Pendekatan asimetris lebih relevan daripada pendekatan seragam.
  • Desain fiskal perlu mempertimbangkan keadilan spasial dan kebutuhan nyata. Program prioritas nasional harus dibangun bersama rakyat daerah, bukan dari atas. Penguatan PAD harus diikuti dengan pemberdayaan fiskal daerah, bukan sekadar beban tambahan.
  • Menegakkan kembali demokrasi lokal. Penunjukan penjabat kepala daerah secara masif harus dihentikan pasca-Pilkada 2024. Kepala daerah harus dipilih, bukan ditunjuk. Rakyat harus berdaulat atas pemimpinnya.

Otonomi daerah adalah amanat reformasi yang lahir dari keinginan untuk menjauh dari sentralisme. Jika kita terus membiarkan relasi pusat-daerah terdistorsi, yang tersisa dari otonomi hanyalah formalitas belaka. Kita membutuhkan negara yang kuat bukan karena sentralisme, tetapi karena daerah-daerah yang tangguh dan mandiri. Indonesia akan menjadi bangsa yang besar bukan karena kekuasaan di Jakarta, melainkan karena kehidupan yang dinamis di desa-desa, kota-kota, dan kabupaten yang diberi ruang tumbuh oleh konstitusi.