Perjalanan Stephania Melawan Skizofrenia Katatonik: Dari Lumpuh Mendadak Hingga Stabilitas Emosional

Perjuangan Panjang Melawan Skizofrenia Katatonik: Kisah Inspiratif Stephania dari Bandung

Stephania, seorang wanita berusia 33 tahun asal Bandung, berbagi kisah hidupnya yang penuh tantangan dalam menghadapi skizofrenia katatonik. Diagnosis ini diterimanya pada tahun 2018, menandai awal dari perjalanan panjangnya untuk memahami dan mengelola kondisi mental yang memengaruhi kemampuan motoriknya.

Semua bermula ketika Stephania, yang akrab disapa Thepi, merasakan keanehan pada tubuhnya. Secara tiba-tiba, ia mengalami kelumpuhan, tubuhnya menjadi kaku, kehilangan kemampuan berbicara, dan tidak mampu merespons stimulus apapun selama hampir 40 menit. Kejadian ini membuatnya harus segera dilarikan ke sebuah rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan penanganan medis yang intensif.

Di rumah sakit, serangkaian pemeriksaan dilakukan, termasuk pemindaian otak. Setelah evaluasi medis yang komprehensif dan wawancara mendalam, dokter menyimpulkan bahwa Thepi menderita skizofrenia katatonik. Kondisi ini merupakan salah satu jenis skizofrenia yang secara khusus menyerang kemampuan gerak tubuh atau fungsi motorik seseorang.

"Saat itu, aku didiagnosis skizofrenia, tetapi masih dalam fase katatonik. Sebenarnya, skizofrenia itu memiliki beberapa tahapan, dan katatonik ini menyerang fisik," ungkapnya.

Setelah menjalani pengobatan yang tepat, Thepi merasakan perubahan signifikan pada tubuhnya. Gejala yang dialaminya tidak hanya terbatas pada gangguan fisik seperti tremor dan kekakuan otot, tetapi juga merambah ke gangguan psikologis. Ia mulai merasakan ketakutan yang berlebihan, kesulitan untuk sendirian, dan kecemasan yang intens saat berada di tengah keramaian.

"Dulu, saat masih tinggal di Jakarta, aku bisa pindah kosan sampai tujuh kali dalam dua bulan. Aku merasa seperti ada yang mengikutiku," kenangnya.

Thepi juga mengalami episode aneh lainnya, seperti tertawa tanpa kendali di tempat umum, bahkan saat berada di kantor. Ia tidak bisa menghentikan tawa tersebut, bahkan sampai meneteskan air mata, padahal ia tidak merasakan keinginan untuk tertawa. Ia menduga bahwa hal ini terjadi karena ia terlalu memaksakan diri untuk terus bekerja meskipun tubuh dan pikirannya sedang tidak dalam kondisi prima.

Dokter saat itu mendiagnosis Thepi telah memasuki tahap paranoia. Kondisinya semakin memburuk hingga ia mengalami kesulitan untuk bekerja. Ia kemudian menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama hampir tiga bulan. Setiap minggu, ia harus menginap selama beberapa hari untuk menjalani observasi dan terapi.

"Salah satu terapi yang disarankan dokter adalah menanyakan apa yang aku sukai dan bagaimana aku mengisi waktu luang selain membaca. Aku menjawab bahwa aku senang menulis dan menggambar. Kemudian, aku difasilitasi dengan cat air," jelasnya.

Aktivitas menggambar dan menulis secara perlahan membantu proses pemulihannya. Pada tahun 2020, kondisinya mulai membaik dan stabil. Ia kembali bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Atas izin dokter, ia mulai menghentikan konsumsi obat secara bertahap.

Stigma dan Dukungan Keluarga

Di tengah perjuangannya melawan skizofrenia, Thepi juga harus menghadapi ketidaksiapan keluarganya dalam menerima kondisinya. Keluarganya yang konservatif dan berlatar belakang Katolik dari wilayah timur Indonesia awalnya tidak memahami apa yang dialami Thepi. Ketika ia mencoba menjelaskan, keluarganya justru mengira ia terkena santet.

"Aku sempat dibawa pulang ke Kupang, dan di sana aku menjalani ritual seperti ruqyah dalam tradisi Muslim. Namun, situasinya malah semakin parah, dan akhirnya aku dibawa ke rumah sakit jiwa di Kupang. Di sana, dokter menjelaskan bahwa ini adalah kondisi medis. Dari situ, keluarga mulai memahami dan menyadari kondisiku," ungkapnya.

Thepi juga mengaku sempat merasakan seolah ada 'orang lain' di dalam dirinya. Ia tidak yakin apakah itu bagian dari delusi atau gejala skizofrenia yang berhubungan dengan gangguan persepsi terhadap realitas. Namun, perasaan itu begitu nyata, hingga saat ia dibawa ke orang pintar, ia bahkan sempat mengutarakan bahwa dirinya merasa ditempati oleh sosok lain.

Kini, meskipun kondisinya sudah jauh lebih stabil, Thepi mengakui bahwa sesekali gejala tersebut masih bisa muncul dalam situasi tertentu. Ia pernah mengalami kekakuan tubuh saat panik, atau melihat hal-hal yang tidak nyata. Namun, berbeda dari dulu, kini ia mampu mengenali dan mengendalikan respons tubuhnya. Kisah Thepi adalah cerminan bahwa skizofrenia katatonik bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan untuk mengenali diri sendiri dan mencapai keseimbangan hidup.

Kisah Stephania memberikan harapan dan inspirasi bagi para pengidap skizofrenia katatonik dan keluarga mereka, bahwa dengan dukungan yang tepat dan pengobatan yang teratur, kualitas hidup yang lebih baik dapat dicapai.