Polemik Penetapan Tersangka Ketua GRIB Jaya Kalteng dalam Kasus Dugaan Penyegelan PT BAP: Upaya Hukum Perdata Dipertanyakan

Ketua GRIB Jaya Kalteng Ditetapkan Tersangka, Kuasa Hukum Pertanyakan Dasar Pidana

Penetapan R, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kalimantan Tengah (Kalteng), sebagai tersangka oleh Polda Kalteng terkait dugaan penyegelan PT Bumi Asri Pasaman (BAP) di Kabupaten Barito Selatan, menuai polemik. Kuasa hukum R, Ledelapril Awat, SH., MH., menilai bahwa penetapan tersangka yang dilakukan pada 20 Mei 2025 tersebut tidak tepat dan menganggap kasus ini seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum perdata.

Ledelapril Awat, S.H., M.H. dengan tegas menyatakan ketidaksepakatannya dengan proses pidana yang ditempuh. Ia berpendapat bahwa permasalahan yang melibatkan kliennya lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme gugatan perdata, khususnya melalui jalur perbuatan melawan hukum (PMH) di Pengadilan Negeri Buntok. Menurutnya, PT BAP, sebagai pihak yang merasa dirugikan akibat pemasangan spanduk oleh R dan rekan-rekannya, seharusnya menempuh jalur perdata terlebih dahulu.

"Dalam konteks ini, jika PT BAP merasa mengalami kerugian, baik materiel maupun imateriel, seharusnya langkah hukum perdata yang dikedepankan. Asas ultimum remedium, yang menekankan bahwa pidana adalah upaya terakhir, seharusnya menjadi pertimbangan utama," tegas Ledelapril Awat, S.H., M.H.

Pasal yang Dipersangkakan Dianggap Tidak Relevan

Lebih lanjut, Ledelapril Awat, S.H., M.H. menyoroti pasal-pasal yang digunakan oleh penyidik dalam menetapkan R sebagai tersangka, yaitu Pasal 335 KUHP tentang Pemaksaan Kehendak dengan ancaman kekerasan dan Pasal 167 KUHP tentang Masuk Pekarangan Tanpa Izin. Ia berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut tidak relevan karena korbannya adalah badan hukum, yaitu PT BAP, bukan individu.

"Hukum pidana Indonesia menganut asas universitas delinquere non potest, yang berarti badan hukum tidak dapat menjadi pelaku maupun korban dalam tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara spesifik hanya mengakui individu sebagai subjek dan objek dalam delik pidana," jelasnya.

Ledelapril Awat, S.H., M.H. memberikan contoh pasal-pasal lain dalam KUHP, seperti Pasal 338 (pembunuhan), Pasal 351 dan 354 (penganiayaan), serta Pasal 310 (pencemaran nama baik), yang secara jelas mensyaratkan bahwa korban adalah orang perseorangan (natuurlijk persoon), bukan badan hukum.

Interpretasi Pasal 167 KUHP Dipertanyakan

Fokus perhatian juga ditujukan pada penerapan Pasal 167 KUHP. Ledelapril Awat, S.H., M.H. mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya yang membahas KUHP, yang menjelaskan bahwa frasa "masuk begitu saja" tidak serta-merta mengandung unsur paksaan.

"Dalam kasus ini, R dan timnya memasuki area pabrik PT BAP dengan cara yang sopan, yaitu dengan mengisi buku tamu dan didampingi oleh petugas keamanan perusahaan saat melakukan pemasangan spanduk. Dengan demikian, unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 KUHP tidak terpenuhi," pungkasnya.

Kasus ini membuka diskusi tentang batas-batas antara hukum perdata dan hukum pidana dalam sengketa yang melibatkan badan hukum. Pendapat kuasa hukum R yang menekankan pada penyelesaian melalui jalur perdata menjadi sorotan, mempertanyakan dasar penetapan tersangka dalam kasus ini.