Dari Jalanan ke Paket: Kisah Driver Ojol Jakarta Pilih Redam Stres dengan Jadi Kurir
Di tengah hiruk pikuk lalu lintas Jakarta, beberapa pengemudi ojek online (ojol) mengambil langkah berani dengan beralih profesi menjadi kurir pengantar barang. Keputusan ini didorong oleh keinginan untuk mengurangi tekanan dan menjaga kesehatan mental.
Fadli (34), seorang mantan pengemudi ojol yang kini aktif mengantarkan paket, mengungkapkan bahwa mengantar barang memberikan ketenangan pikiran yang lebih besar. "Kalau barang kan diam saja, tidak seperti penumpang yang kadang rewel soal rute atau marah-marah kalau kita telat," ujarnya saat ditemui di kawasan Gondangdia, Jakarta Pusat. Ia menambahkan bahwa interaksi dengan penumpang seringkali menguras emosi, bahkan ketika ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tepat waktu. Fadli merasa lebih nyaman karena sebagai kurir, fokusnya adalah memastikan paket sampai tepat waktu dan dalam kondisi baik, tanpa harus menghadapi keluhan langsung dari pelanggan.
Senada dengan Fadli, Siti (38), seorang ibu dua anak yang juga beralih menjadi kurir, menuturkan bahwa mengantar paket memberikan fleksibilitas yang lebih besar. "Penumpang tuh kadang sedikit-sedikit komplain. Kalau antar paket lebih fleksibel. Bisa atur rute sendiri, asal sesuai estimasi waktu," jelasnya. Fleksibilitas ini memungkinkan Siti untuk lebih mudah mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga.
Meski demikian, pekerjaan sebagai kurir juga memiliki tantangan tersendiri. Siti bercerita tentang pengalamannya harus menaiki tangga hingga lantai empat sebuah gedung tua tanpa lift sambil membawa barang yang cukup berat. Sementara itu, Fadli mengakui bahwa ia pernah beberapa kali terkena penalti karena keterlambatan pengiriman akibat cuaca buruk.
Dari segi pendapatan, Fadli dan Siti mengakui bahwa sistem bagi hasil yang berlaku saat ini belum ideal. Mereka mengungkapkan bahwa pendapatan bersih yang mereka terima per pengiriman tidak sebanding dengan biaya yang dibayar konsumen. Namun, meskipun menghadapi tantangan dan sistem bagi hasil yang kurang ideal, baik Fadli maupun Siti tetap memilih untuk bertahan sebagai kurir. Alasan utama mereka adalah fleksibilitas dan kenyamanan yang mereka rasakan saat mengantar barang, yang pada akhirnya berdampak positif pada kesehatan mental mereka.
"Setidaknya mental lebih aman. Nggak tiap hari dimarahin orang," kata Fadli. Baginya, keputusan untuk menjadi kurir bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga tentang menjaga kesehatan mental di tengah pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi. "Saya kerja buat keluarga, tapi saya juga harus jaga kewarasan. Kalau bisa dapat uang tanpa dimaki-maki, ya kenapa nggak?"
Kisah Fadli dan Siti ini mencerminkan bagaimana pekerjaan yang berbeda dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan mental seseorang. Bagi mereka, menjadi kurir bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi juga cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif dan mendukung kesehatan mental.