Ojek Online Jakarta: Antara Kejar Setoran dan Paket Aman Sampai Tujuan
Di tengah hiruk pikuk Jakarta Pusat, tepatnya di kawasan Stasiun Gondangdia yang tak pernah sepi, kisah perjuangan para pengemudi ojek online (ojol) terukir. Lebih dari sekadar mengantar penumpang, sebagian dari mereka merangkap sebagai kurir instan, berlomba dengan waktu dan tantangan demi memastikan setiap paket sampai ke tangan penerima dengan selamat.
Fadli, seorang pengemudi ojol berusia 34 tahun, telah lima tahun malang melintang di jalanan ibu kota. Ia piawai berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain, mencari celah untuk memaksimalkan pendapatan harian. "Pagi narik penumpang, siangnya ambil orderan barang. Kalau lagi banyak orderan, bisa sampai 10-12 paket," ujarnya, sembari menyeka keringat di dahi.
Namun, mengantar barang dengan layanan sameday bukanlah pekerjaan enteng. Selain harus gesit menghindari kemacetan, Fadli juga memikul tanggung jawab atas keamanan barang yang dibawanya. "Kalau barang rusak atau telat, bisa kena sanksi. Tapi ya, namanya juga manusia, kadang ada saja kendala di jalan," keluhnya.
Meski demikian, Fadli mengakui bahwa mengantar barang memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan mengantar penumpang. "Barang kan enggak bisa protes. Penumpang kadang suka rewel soal rute atau marah-marah kalau telat," ungkapnya, diselingi tawa kecil.
Kisah serupa juga dialami oleh Siti, seorang ibu dua anak yang tinggal di kawasan Cempaka Putih. Sejak tahun lalu, ia ikut meramaikan persaingan sebagai kurir sameday. Baginya, mengantar barang terasa lebih nyaman dan minim drama dibandingkan berurusan dengan penumpang.
"Kalau penumpang kan kadang banyak maunya, suka nyalahin kalau jalan macet. Kalau paket, tinggal antar saja. Kalaupun salah alamat, masih bisa dikomunikasikan lewat chat," jelas Siti.
Namun, bukan berarti mengantar barang bebas dari tantangan. Siti bercerita pengalamannya mengantar barang ke tiga lokasi berbeda saat hujan deras mengguyur Jakarta. Salah satu lokasi bahkan mengharuskannya menaiki tangga hingga lantai empat tanpa lift.
"Kalau bawa makanan atau barang pecah belah juga harus ekstra hati-hati. Tapi alhamdulillah, sejauh ini aman-aman saja," ujarnya, dengan nada lega.
Dari segi penghasilan, Fadli mengakui bahwa sistem bagi hasil yang diterapkan oleh aplikasi tidak selalu menguntungkan para kurir. Dari satu pengiriman sameday, ia hanya menerima bagian antara Rp 8.000 hingga Rp 15.000, tergantung jarak tempuh.
"Padahal, aplikasi kadang narik ongkos Rp 40.000. Kita cuma dapat sepertiganya," keluhnya, menggambarkan ketidakseimbangan yang dirasakan.
Fadli dan Siti menuturkan bahwa dalam sehari, mereka bisa mengantongi penghasilan kotor antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000 jika orderan sedang ramai. Namun, penghasilan tersebut harus ditebus dengan risiko kelelahan tinggi dan pengeluaran harian untuk bensin serta makan di jalan.
Meski penghasilan yang diterima seringkali terasa tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan, Fadli dan rekan-rekan sesama kurir tetap bersemangat menjalani profesi ini. "Saya kerja begini buat anak istri di rumah. Kalau bukan kita yang gerak, siapa lagi?" pungkas Fadli, dengan nada penuh tekad.