Tokoh Adat Sasak Menyoroti Penyimpangan Makna Merariq yang Memicu Pernikahan Dini
Praktik pernikahan usia anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kembali menjadi sorotan tajam. Ketua Majelis Adat Sasak (MAS), Lalu Sajim Sastrawan, menyatakan keprihatinannya atas fenomena ini. Menurutnya, akar masalah terletak pada penyalahartian tradisi merariq, yang seharusnya tidak menjadi pembenaran bagi pernikahan anak di bawah umur.
Sajim menegaskan bahwa pernikahan dini dapat dicegah dengan mengembalikan esensi tradisi kawin gantung. Praktik ini melibatkan kesepakatan awal antara orang tua untuk menikahkan anak-anak mereka kelak, namun pernikahan sesungguhnya baru dilangsungkan setelah kedua anak mencapai usia dewasa dan siap secara mental serta emosional.
"Kawin gantung adalah tradisi yang dipraktikkan oleh para leluhur Sasak. Anak-anak yang belum cukup umur tetap berada di bawah pengawasan orang tua dan dipersiapkan untuk peran sebagai suami istri di masa depan," jelas Sajim.
Lebih lanjut, MAS menolak penggunaan istilah "kawin culik" atau "kawin lari". Menurut mereka, merariq yang sesungguhnya adalah kesepakatan antara dua individu dewasa yang telah siap untuk menikah sesuai dengan adat yang berlaku.
"Dalam tradisi merariq, pihak laki-laki dan keluarganya menjemput perempuan setelah adanya kesepakatan dan kesiapan untuk membangun rumah tangga. Proses ini tidak melibatkan perginya pasangan secara diam-diam, apalagi jika salah satunya masih di bawah umur. Itu bukan merariq yang sebenarnya," tegas Sajim.
Sajim menggarisbawahi bahwa kesalahpahaman terhadap tata cara merariq menjadi masalah serius. Ia menekankan perlunya sinergi antara Majelis Adat Sasak, pemerintah, dan tokoh agama dalam menyosialisasikan pemahaman yang benar mengenai adat istiadat.
Di Lombok, hilangnya seorang gadis selama dua hari tanpa kabar akan memicu dua proses adat. Pertama, pihak laki-laki yang membawa gadis tersebut akan mengadakan rembuk keluarga dan melaporkan kejadian tersebut kepada kepala dusun setempat.
Kepala dusun, sebagai perwakilan pemerintah terdekat dengan masyarakat, akan menerima laporan tersebut. Sementara itu, keluarga pihak perempuan juga akan melaporkan kehilangan anak gadis mereka, yang disebut sebagai selabar.
Selanjutnya, pihak dusun asal laki-laki akan membentuk tim untuk melapor kepada kepala dusun pihak perempuan, menginformasikan bahwa gadis tersebut telah dibawa oleh pasangannya untuk menikah.
"Proses inilah yang disebut Sejati Selabar, sebuah acara adat dalam tradisi Merariq. Proses ini mencerminkan kearifan dalam memperlakukan perempuan yang telah dibawa untuk menikah," papar Sajim.
Tokoh adat Lombok, H. Safwan, menambahkan bahwa pelaksanaan adat tradisi yang benar akan mencegah terjadinya pernikahan usia anak. Ia mencontohkan tradisi Sasak zaman dahulu, di mana perempuan yang boleh menikah adalah mereka yang telah mampu menenun satu saok atau peti kain tenun khas Lombok. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, sehingga perempuan tersebut dipastikan telah cukup umur dan matang secara emosional.
"Artinya, anak-anak gadis diizinkan menikah ketika sudah matang, sudah siap menjalani hidup bersama pasangannya," kata Safwan.
Baik Sajim maupun Safwan sepakat bahwa edukasi mengenai bahaya pernikahan dini dan pemahaman yang benar tentang adat istiadat harus berjalan beriringan. Mereka menyerukan agar semua pihak tidak mengabaikan masalah ini dan bersama-sama mencari solusi yang terbaik.
Poin-poin penting dalam berita ini:
- Pernikahan usia anak di Lombok menjadi sorotan.
- Ketua Majelis Adat Sasak (MAS) mengkritik penyalahartian tradisi merariq.
- Tradisi kawin gantung sebagai solusi pencegahan pernikahan dini.
- Penjelasan mengenai prosesi adat Sejati Selabar.
- Pentingnya edukasi dan pemahaman yang benar tentang adat istiadat.