Sritex: Runtuhnya Imperium Tekstil, Skandal Kredit, dan Gaya Hidup Glamor Para Konglomerat

Kejatuhan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), raksasa industri tekstil Indonesia, menjadi sorotan tajam yang mengungkap praktik bisnis berisiko dan potensi korupsi dalam sistem keuangan. Kasus ini, yang mulai mencuat pada tahun 2021 dengan kerugian finansial masif dan pinjaman agresif dari puluhan bank, mengingatkan pada skandal serupa yang melibatkan konglomerat India, Vijay Mallya.

Mallya, dikenal sebagai "King of Good Times," membangun imperium bisnis dan gaya hidup mewah yang didanai oleh utang dari lebih dari 17 bank. Ketika bisnisnya runtuh, ia meninggalkan hutang besar dan melarikan diri ke Inggris. Pola serupa terlihat pada kasus Sritex, di mana perusahaan mencatatkan kerugian triliunan rupiah dan terlibat dalam praktik pemberian kredit yang diduga melanggar prinsip kehati-hatian perbankan. Kejaksaan Agung saat ini tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam pemberian kredit kepada Sritex, dengan menetapkan Komisaris Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, dan Direktur Utama PT Bank DKI Jakarta tahun 2020, Zainudin Mapa, sebagai tersangka. Proses pemberian kredit diduga dilakukan tanpa analisis risiko yang memadai, dengan jaminan yang tidak valid atau tidak cukup nilainya.

Kasus Sritex: Lebih dari Sekadar Kelalaian?

Kasus Sritex menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini hanya kelalaian prosedural, atau ada kolusi dalam proses rekayasa laporan untuk meloloskan pinjaman? Penyidikan yang lebih mendalam terhadap peran analis kredit, dewan risiko, dan legal internal bank sangat penting untuk mengungkap potensi keterlibatan pihak lain dan memastikan bahwa tanggung jawab sistemik tidak hanya dibebankan pada pucuk pimpinan perusahaan.

Sejarah mencatat kasus serupa, seperti pembobolan Bank BNI dengan modus kredit fiktif oleh Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu pada awal 2000-an. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi kredit bukan hanya soal penyalahgunaan uang negara, tetapi juga tentang rusaknya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Jika bank tidak dapat membedakan antara debitur sehat dan yang berisiko, maka seluruh pelaku ekonomi akan terpengaruh.

Reformasi Sistem Keuangan Mendesak

Kejatuhan Sritex dan kasus-kasus serupa lainnya menyoroti kerapuhan tata kelola keuangan nasional, terutama dalam pembiayaan korporasi. Mekanisme pemantauan utang lintas bank yang gagal, proses appraisal yang diabaikan, dan prinsip kehati-hatian yang disepelekan adalah indikasi serius bahwa sistem ini perlu direformasi secara menyeluruh.

Dampak dari kegagalan ini sangat sistemik: ribuan karyawan kehilangan pekerjaan, bank kehilangan dana publik, investor kehilangan kepercayaan, dan negara menanggung reputasi yang tercoreng. Lebih jauh lagi, publik kehilangan kepercayaan pada meritokrasi dan keadilan ekonomi. Kasus Sritex adalah cermin dari governance yang lemah, yang jika tidak segera dibenahi, akan terus melahirkan "bad boy billionaires" versi Indonesia yang didorong oleh sistem yang permisif.

Pelajaran Penting

Kasus Sritex mengajarkan kita bahwa kejatuhan perusahaan besar bukan hanya disebabkan oleh keserakahan individu, tetapi juga oleh sistem yang terlalu permisif terhadap kekuasaan informal. Nama besar, koneksi, dan narasi "ter pre-eminent" seringkali menjadi benteng semu yang membuat banyak bank dan regulator mengabaikan tanda bahaya. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pengawasan, menegakkan prinsip kehati-hatian, dan memastikan bahwa semua pelaku ekonomi, tanpa terkecuali, tunduk pada aturan yang sama.