Fenomena 'Quiet Quitting' Merebak di Kalangan Generasi Z Jepang: Mengutamakan Keseimbangan Hidup

Di tengah citra Jepang sebagai negara dengan etos kerja tinggi dan loyalitas perusahaan yang mendalam, sebuah tren baru muncul di kalangan generasi Z: quiet quitting. Fenomena ini, yang mengutamakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, menandai pergeseran signifikan dari budaya kerja tradisional Jepang.

Quiet quitting, atau berhenti secara diam-diam, bukan berarti mengundurkan diri dari pekerjaan. Sebaliknya, ini merujuk pada praktik di mana karyawan hanya melakukan tugas-tugas yang secara eksplisit ditugaskan kepada mereka, tanpa berusaha lebih atau melampaui ekspektasi minimal. Mereka masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan sesuai deskripsi, dan pulang segera setelah jam kerja berakhir. Mereka tidak mencari promosi, menghindari pekerjaan tambahan, dan memprioritaskan waktu di luar pekerjaan.

Sebuah studi oleh Mynavi Career Research Lab di Tokyo menunjukkan bahwa sekitar 45% pekerja berusia 20 hingga 59 tahun mengaku hanya melakukan pekerjaan yang diwajibkan. Kelompok usia 20-an menjadi yang paling banyak mengadopsi pendekatan ini.

Alasan di balik tren ini beragam. Bagi banyak anak muda Jepang, quiet quitting adalah cara untuk mendapatkan kembali kendali atas waktu dan hidup mereka. Mereka ingin lebih banyak waktu untuk mengejar hobi, bertemu teman, bepergian, atau sekadar bersantai. Mereka mempertanyakan logika generasi sebelumnya yang mengorbankan segalanya untuk pekerjaan.

Sumie Kawakami, seorang dosen ilmu sosial di Universitas Yamanashi Gakuin, berpendapat bahwa generasi muda Jepang telah menyaksikan orang tua mereka mengorbankan kehidupan pribadi demi perusahaan. Mereka tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Selain itu, perubahan dalam lanskap ekonomi Jepang, termasuk pemotongan biaya perusahaan, kontrak kerja yang tidak penuh, dan penurunan gaji serta bonus, membuat karyawan merasa kurang berkewajiban untuk memberikan segalanya kepada perusahaan.

Pandemi COVID-19 juga memainkan peran penting dalam perubahan ini. Banyak orang mulai mengevaluasi kembali prioritas mereka dan menyadari pentingnya keseimbangan hidup. Konsep komitmen seumur hidup kepada satu perusahaan menjadi kurang menarik bagi generasi muda.

Izumi Tsuji, seorang profesor sosiologi budaya di Universitas Chuo Tokyo, mengamati perubahan besar dalam sikap terhadap pekerjaan di kalangan anak muda dibandingkan generasi sebelumnya. Dulu, karyawan sangat setia kepada perusahaan, bekerja lembur tanpa bayaran, dan tidak ingin berpindah perusahaan. Sebagai imbalan, mereka dan keluarga mereka dinafkahi sampai mereka pensiun. Sekarang, anak muda ingin lebih fokus pada hobi mereka dan memiliki kehidupan yang lebih seimbang.

Tsuji melihat pergeseran ini sebagai perkembangan positif. Budaya kerja Jepang yang menuntut telah menyebabkan banyak orang mengabaikan kehidupan di luar pekerjaan. Dengan memiliki lebih banyak waktu luang, mereka dapat menghabiskan lebih banyak uang, membantu perekonomian, atau bahkan membangun keluarga, yang penting mengingat populasi Jepang yang semakin berkurang.

Kawakami juga menyoroti dampak negatif dari budaya kerja keras yang berlebihan di Jepang, yaitu karoshi, atau kematian akibat kerja berlebihan. Ia menyambut baik quiet quitting sebagai cara bagi generasi pekerja muda untuk menghindari nasib serupa. Mereka tidak lagi merasa harus bertahan dalam pekerjaan yang membuat mereka tidak bahagia atau tidak memiliki waktu untuk diri sendiri. Hasilnya, diharapkan akan muncul generasi yang lebih bahagia dan lebih sehat.

Quiet quitting di Jepang bukan sekadar tren sesaat. Ini adalah cerminan dari perubahan nilai dan prioritas di kalangan generasi Z, yang semakin menyadari pentingnya keseimbangan hidup dan kesejahteraan pribadi. Fenomena ini menantang budaya kerja tradisional Jepang dan membuka jalan bagi pendekatan yang lebih berkelanjutan dan manusiawi.