Evaluasi 100 Hari Kerja Kepala Daerah: Refleksi Integritas dan Realitas Pembangunan

Masa 100 hari kerja kepala daerah terpilih, yang dilantik pada 20 Februari 2025, menjadi momentum penting untuk merefleksikan integritas dan efektivitas program pembangunan yang dijalankan. Sorotan terhadap hal ini semakin tajam dengan adanya rilis Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan 2024 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hasil SPI pendidikan 2024 menunjukkan indeks integritas sebesar 69,50. Menurut klasifikasi KPK, angka ini berada pada Level Korektif, mengindikasikan perlunya perhatian serius terhadap potensi penurunan integritas. Posisi ini hanya selangkah dari level 'Tidak Baik', yang mengkhawatirkan.

Angka ini menjadi pengingat bahwa fondasi kejujuran di sektor pendidikan rentan terkikis. Lebih dari sekadar gambaran kondisi di lapangan, indeks ini mencerminkan sistem yang kurang memberikan perhatian pada nilai-nilai kejujuran.

Ironisnya, upaya membangun citra positif sering kali menutupi realitas yang ada. Klaim keberhasilan program pembangunan yang mencapai 90% atau lebih, serta penurunan angka kemiskinan yang signifikan, terkadang tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Jurang antara 'data pencitraan' dan 'data kenyataan' semakin lebar, menciptakan pertunjukan semu yang jauh dari esensi pengelolaan negara yang sesungguhnya.

Belajar dari bangsa-bangsa besar, keberhasilan sejati diraih melalui pengakuan terhadap kekurangan dan tekad untuk memperbaikinya. Alih-alih terpaku pada narasi keberhasilan yang dipoles, penting untuk berani mengakui tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan program pembangunan. Keterbukaan dan kejujuran dalam menyampaikan informasi, meski tidak selalu menyenangkan secara politis, akan menjadi fondasi yang kuat untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Bahaya Memuja Data Agregat

Kecenderungan untuk mempertontonkan data agregat tanpa melihat detail yang tersembunyi menjadi persoalan tersendiri. Angka-angka besar yang mengilap sering kali menutupi cerita-cerita yang tak tersuarakan dan luka-luka yang tak terdata. Misalnya, klaim bahwa 95% target program telah tercapai tanpa menjelaskan siapa saja yang merasakan manfaatnya dan di mana saja kemiskinan berhasil diturunkan.

Kita cenderung fokus pada berapa banyak masyarakat yang telah terbantu, namun mengabaikan mereka yang masih tertinggal. Kita bangga dengan capaian program pendidikan yang menjangkau 87% anak usia sekolah, namun kurang peduli pada 13% yang gagal terjangkau dan penyebabnya. Padahal, rerata tidak pernah bisa mewakili kondisi setiap individu.

Analogi sederhananya, jika kaki kanan menginjak api dan kaki kiri menginjak es, maka secara rata-rata tubuh berada dalam suhu ideal. Namun, kenyataannya kita sedang menghadapi kondisi yang mematikan. Data rerata memang penting untuk pengambilan keputusan di tingkat makro, namun tidak boleh dipuja sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan.

Kejujuran sebagai Sahabat Pembangunan

Kita harus mulai menghormati kenyataan dan menyadari bahwa kejujuran adalah sahabat terbaik pembangunan. Kegemaran pada data agregat mencerminkan karakter yang enggan melihat kekurangan diri dan lebih takut pada kesan buruk daripada kondisi buruk yang sebenarnya. Akibatnya, kita menciptakan narasi keberhasilan yang berbanding terbalik dengan realitas di lapangan.

Ketidakjujuran yang sistemik ini mengesampingkan kejujuran demi kenyamanan sesaat. Kejujuran bukan hanya soal berkata benar, tetapi juga keberanian untuk menampilkan data yang tidak menggembirakan dan membuka mata, bukan menyilaukan.

Pembangunan bukanlah pertunjukan dan data bukan panggung sandiwara. Kita harus menyadari pentingnya data kejujuran dan berbicara dengan kejujuran data, demi mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan.