Dilema Operasi Kemanusiaan Mudik Lebaran: Antara Keselamatan dan Realita Sosial

Dilema Operasi Kemanusiaan Mudik Lebaran: Antara Keselamatan dan Realita Sosial

Pernyataan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Pol. Agus Suryonugroho, yang menyebut pengamanan mudik Lebaran sebagai 'operasi kemanusiaan', telah memicu diskusi hangat di kalangan para ahli dan pemangku kepentingan. Pernyataan yang disampaikan dalam sebuah pertemuan di kantor pusat PT Jasa Raharja, Jakarta, Rabu (5/3/2025), ini mengungkapkan dilema mendasar dalam penanganan arus mudik yang kompleks. Di satu sisi, mudik merupakan peristiwa sosial budaya yang sarat makna kemanusiaan, yakni keinginan untuk berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Namun, di sisi lain, realita menunjukkan bahwa arus mudik kerap diiringi peningkatan angka kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban jiwa.

Data Jasa Raharja menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan. Sepanjang tahun 2024, tercatat sekitar 26.000 orang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, dengan 77 persen di antaranya melibatkan sepeda motor. Kondisi ini semakin memprihatinkan selama periode mudik Lebaran 2024, di mana sebanyak 281 jiwa melayang dengan 73 persen disebabkan oleh kecelakaan yang melibatkan sepeda motor. Tingginya angka kecelakaan ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah pendekatan 'operasi kemanusiaan' yang mengedepankan aspek toleransi terhadap pelanggaran lalu lintas, seperti penggunaan sepeda motor dan kendaraan ODOL (over dimension over loading), justru berdampak kontraproduktif terhadap keselamatan?

Pernyataan Kakorlantas tersebut seolah menggambarkan kondisi tanpa pilihan (no choice) di tengah fenomena sosial yang telah menjadi keniscayaan. Meskipun penggunaan sepeda motor dan truk ODOL melanggar regulasi dan terbukti sebagai penyebab utama kecelakaan, penerapan aturan tegas menghadapi hambatan. Alasan kemanusiaan dan ekonomi kerap dijadikan pembenaran untuk mentoleransi pelanggaran tersebut. Program mudik gratis bagi pengguna sepeda motor, misalnya, belum cukup efektif mengurangi jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor. Sementara itu, truk ODOL, yang telah terbukti merenggut 7.500 nyawa di jalan raya dan dikategorikan sebagai kejahatan oleh Kakorlantas, tetap beroperasi di jalan raya. Kecelakaan maut di ruas tol Ciawi-Bogor pada Selasa (4/2/2025) yang menewaskan delapan orang akibat truk ODOL yang remnya blong, menjadi contoh nyata dari bahaya yang mengintai.

Dalam pertemuan tersebut, Kakorlantas mengajukan tantangan kepada para ahli untuk mencari solusi dan inovasi dalam rangka mewujudkan mudik Lebaran yang lebih nyaman, aman, dan manusiawi. Usulan penggunaan angkutan umum sebagai alternatif transportasi mudik muncul sebagai solusi. Namun, kendala kapasitas angkutan umum yang terbatas, serta minimnya ketersediaan angkutan umum di daerah tujuan, menjadi penghalang utama. Fakta bahwa angkutan umum di banyak daerah kalah bersaing dengan sepeda motor dan transportasi online semakin memperumit permasalahan. Pemudik seringkali memilih kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor, karena kebutuhan mobilitas di kampung halaman yang tidak terlayani dengan baik oleh angkutan umum.

Oleh karena itu, pendekatan yang lebih komprehensif dan terintegrasi diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini. Solusi instan dan bersifat 'hulu' saja tidak akan efektif. Perlu adanya perubahan strategis dari sektor 'hulu', memerlukan kebijakan sinergis dan integratif dari berbagai kementerian dan lembaga. Pertanyaan yang penting untuk dijawab adalah: apakah pemerintah berani mengambil langkah radikal untuk mengontrol penjualan sepeda motor, khususnya di daerah perkotaan yang padat seperti Jabodetabek? Atau bahkan memberlakukan moratorium penjualan sepeda motor? Dengan jumlah sepeda motor di Indonesia mencapai 132 juta unit, perlu dipertimbangkan langkah-langkah strategis untuk mengurangi jumlah sepeda motor di jalan raya. Hanya dengan solusi yang terintegrasi dan berwawasan jauh ke depan, target 'zero accident' dan 'zero fatality' selama mudik Lebaran dapat diwujudkan. Operasi kemanusiaan seharusnya tidak hanya berfokus pada penanganan situasi darurat, tetapi juga pencegahan dari akar permasalahan.