Polemik Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Antara Kepentingan Negara dan Pluralitas Memori

Polemik Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Antara Kepentingan Negara dan Pluralitas Memori

Wacana penulisan ulang sejarah nasional yang digagas pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Inisiatif yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah 'sejarah resmi' yang berorientasi pada kepentingan nasional dan peningkatan rasa kebangsaan ini, justru dianggap berpotensi menjadi alat legitimasi kekuasaan dan membungkam suara-suara minoritas.

Kritik utama yang dilayangkan adalah kekhawatiran akan terciptanya narasi tunggal yang dipaksakan oleh negara. Sejarah, menurut para pengkritik, seharusnya menjadi arena pertukaran berbagai perspektif dan pengalaman, bukan dimonopoli oleh negara untuk kepentingan tertentu. Penulisan ulang sejarah tanpa melibatkan partisipasi publik yang luas dianggap sebagai bentuk kekerasan epistemik yang mengabaikan pluralitas memori kolektif bangsa.

Bahaya Narasi Tunggal dan Hegemoni Kekuasaan

Sejarah, sebagaimana diingatkan oleh Michel-Rolph Trouillot, bukanlah produk netral. Proses penulisan sejarah selalu melibatkan kepentingan politik yang menentukan siapa yang memiliki akses pada sumber, siapa yang berhak menulis, dan siapa yang dibungkam. Kekuasaan, dalam hal ini, tidak hanya hadir dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga dalam pengaturan ingatan kolektif.

Benedict Anderson dalam Imagined Communities menjelaskan bahwa bangsa adalah konstruksi imajinatif yang dibangun melalui narasi sejarah. Narasi negara seringkali menghilangkan keragaman pengalaman lokal, gender, dan kelas demi menciptakan identitas nasional yang homogen. Oleh karena itu, penting untuk mempertanyakan: sejarah siapa yang sedang ditulis, dan untuk siapa?

Belajar dari Pengalaman Masa Lalu

Tragedi 1965 menjadi contoh nyata bagaimana sejarah resmi dapat digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan dan mengabaikan suara korban. Selama puluhan tahun, negara menulis sejarah peristiwa tersebut dari perspektif penguasa, menyudutkan kelompok tertentu tanpa memberikan ruang pembelaan. Buku-buku pelajaran sejarah menjadi alat indoktrinasi yang menyederhanakan kompleksitas peristiwa.

Kekhawatiran serupa muncul dalam proyek penulisan ulang sejarah ini. Beberapa laporan menyebutkan bahwa draf naskah menghilangkan peristiwa penting seperti Kongres Perempuan Indonesia, gerakan mahasiswa 1998, dan perjuangan agraria. Penghilangan ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan keputusan politik untuk mengutamakan narasi yang menguntungkan negara.

Sejarah Milik Rakyat, Bukan Negara

Sejarah sejatinya adalah milik rakyat, bukan milik negara, elite politik, atau akademisi semata. Setiap komunitas memiliki narasi sah tentang masa lalu yang harus diakui. Tugas negara adalah membuka ruang bagi pluralitas sejarah, bukan menyusun narasi tunggal yang dipaksakan dari atas.

Alih-alih membuat "buku besar sejarah nasional", negara sebaiknya membuka akses arsip, mendanai riset independen, memperkuat literasi sejarah publik, dan melindungi kebebasan akademik dari intervensi kekuasaan. Bangsa yang sehat secara historis adalah bangsa yang menghormati banyak suara dan versi sejarah.

Menjaga Sejarah sebagai Ruang Kebebasan

Kritik terhadap proyek ini bukanlah penolakan terhadap sejarah itu sendiri, melainkan penolakan terhadap upaya hegemonik untuk mengatur ingatan kolektif. Sejarah adalah arena perebutan makna, bukan dokumen mati yang dikunci oleh segelintir orang di ruang birokrasi. Negara boleh hadir, tetapi sebagai fasilitator, bukan penguasa tafsir.

Penulisan ulang sejarah nasional tidak boleh dilanjutkan tanpa transparansi dan partisipasi publik yang luas. Jika tidak, kita hanya mengganti satu bentuk penindasan sejarah dengan bentuk lain yang lebih halus, tetapi sama bahayanya.

Mari kita jaga sejarah sebagai ruang kebebasan dan demokrasi, bukan alat kekuasaan. Karena pada akhirnya, sejarah adalah milik kita semua.