Ketua Ormas di Tangsel Jadi Tersangka Kasus Penyerobotan Lahan BMKG: Strategi Amankan Aset dari Okupasi Ilegal
Kasus penyerobotan lahan kembali mencuat, kali ini melibatkan Ketua salah satu organisasi masyarakat (ormas) di Tangerang Selatan (Tangsel). MYT, Ketua GRIB Jaya Tangsel, bersama seorang warga berinisial Y, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penguasaan lahan milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di wilayah tersebut.
Penetapan tersangka ini menjadi sorotan, mengingat maraknya kasus serupa di mana lahan kosong menjadi incaran oknum yang mengatasnamakan ormas. Modus operandinya beragam, mulai dari menduduki lahan secara fisik hingga memasang plang kepemilikan ilegal.
Lantas, langkah apa yang bisa diambil pemilik lahan untuk melindungi aset mereka dari praktik penyerobotan semacam ini? Muhammad Rizal Siregar, seorang pengacara properti, memberikan pandangannya terkait kasus yang menjerat Ketua GRIB Jaya tersebut. Menurut Rizal, jika terbukti tidak memiliki dasar hukum yang sah atas lahan BMKG seluas 127.780 meter persegi di Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan, MYT dan kelompoknya dapat dijerat dengan sejumlah pasal pidana.
- Pasal 167 KUHP: Memasuki pekarangan atau wilayah tanpa izin yang sah.
- Penyalahgunaan Aset: Memanfaatkan lahan bukan miliknya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, seperti membangun hunian ilegal.
- Pemalsuan Surat: Menerbitkan surat kepemilikan palsu atau surat izin tinggal ilegal kepada pihak lain di atas lahan tersebut.
Rizal menekankan bahwa penyelesaian masalah sengketa lahan dengan ormas sebaiknya tidak dilakukan melalui cara kekerasan atau pengusiran paksa. Ia menyarankan pemilik lahan untuk menempuh jalur hukum yang sah.
"Upaya pengusiran paksa, meski dilakukan oleh aparat penegak hukum, berpotensi menimbulkan stigma pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pemerintah cenderung menghindari tindakan represif semacam itu," jelas Rizal.
Langkah krusial yang harus dimiliki pemilik lahan adalah sertifikat hak milik (SHM) yang sah. Dokumen ini menjadi bukti otentik kepemilikan yang diakui negara. Sementara untuk lahan milik negara, harus memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Setelah kepemilikan sah terjamin, Rizal menyarankan agar kasus penyerobotan lahan dilaporkan ke pengadilan. Sengketa lahan dapat masuk ke ranah pidana maupun perdata, tergantung pada jenis pelanggaran yang terjadi.
- Ranah Perdata: Kasus pemalsuan dokumen kepemilikan lahan.
- Ranah Pidana: Tindakan pendudukan ilegal, perusakan aset, atau pemanfaatan lahan tanpa izin.
Pakar Hukum UGM, Oce Madril, yang juga merupakan Tenaga Ahli Badan Bank Tanah, memberikan tips tambahan untuk mengamankan lahan kosong dari potensi penyerobotan:
- Memasang Pagar: Pagar berfungsi sebagai batas fisik yang jelas dan memberikan indikasi bahwa lahan tersebut dimiliki.
- Mengolah Lahan: Lahan yang produktif, seperti ditanami tanaman pertanian atau perkebunan, cenderung tidak menarik bagi pihak yang ingin menyerobot.
- Sertifikasi Hak Milik: Memastikan kepemilikan lahan terdaftar secara resmi dan memiliki sertifikat yang sah.
- Memanfaatkan Lahan: Tanah yang dibiarkan kosong dan tidak terawat lebih rentan menjadi sasaran penyerobotan. Undang-undang mengatur tentang fungsi sosial tanah, yang menekankan pentingnya pemanfaatan lahan secara produktif.
Kasus yang menjerat Ketua GRIB Jaya ini menjadi pengingat penting bagi pemilik lahan untuk lebih waspada dan mengambil langkah-langkah preventif guna melindungi aset mereka dari praktik penyerobotan ilegal.