KPAI Soroti Regulasi Lemah dalam Kasus Pernikahan Anak di Lombok
KPAI Kritik Keras Regulasi Pernikahan Dini di Lombok
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti lemahnya regulasi terkait pencegahan pernikahan anak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), menyusul viralnya kasus pernikahan dini yang melibatkan anak di bawah umur. KPAI menilai bahwa peraturan daerah (perda) yang ada belum cukup kuat untuk mencegah praktik pernikahan anak karena tidak memuat sanksi bagi pihak-pihak yang terlibat dan minimnya alokasi anggaran untuk program pencegahan.
Komisioner KPAI, Ai Rahmayanti, mengungkapkan kekecewaannya terhadap penghapusan ketentuan sanksi dan anggaran dalam perda pencegahan pernikahan anak. Menurutnya, penghapusan ini semakin memperburuk situasi dan membuat perda menjadi tidak efektif. KPAI mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meninjau ulang kebijakan tersebut dan meminta pemerintah daerah NTB untuk merevisi perda agar memuat sanksi yang tegas dan alokasi anggaran yang memadai.
"Kami KPAI merekomendasikan agar Kemendagri juga meninjau ulang terkait dengan peraturan daerah tersebut. Kemudian juga kepada stakeholders di NTB untuk juga melakukan advokasi untuk revisi peraturan daerah, bagaimana ada sanksi," kata Rahmayanti.
Rahmayanti menjelaskan bahwa NTB merupakan salah satu provinsi dengan angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Selain masalah regulasi, faktor-faktor lain seperti adat istiadat dan pemahaman agama yang keliru juga turut berkontribusi terhadap tingginya angka pernikahan anak di daerah tersebut.
Kasus Viral Pernikahan Anak di Lombok
Kasus pernikahan anak di Lombok menjadi viral di media sosial setelah video pernikahan tersebut memperlihatkan tingkah laku pengantin perempuan yang masih kekanak-kanakan. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram telah melaporkan kasus ini ke Polres Lombok Tengah dan meminta pihak kepolisian untuk menindak tegas pihak-pihak yang memfasilitasi pernikahan tersebut.
Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi, menegaskan bahwa pernikahan anak di bawah umur merupakan tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman penjara hingga 9 tahun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). LPA juga meminta masyarakat untuk lebih peduli dan melaporkan kasus-kasus pernikahan anak yang terjadi di lingkungan sekitar.
Tradisi Kawin Lari dan Upaya Pencegahan
Kepala Dusun Petak Daye I, Desa Beraim, Praya Tengah, Lombok Tengah, Syarifudin, menyampaikan permohonan maaf atas kegaduhan yang timbul akibat viralnya video pernikahan anak tersebut. Ia menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah pernikahan tersebut, namun tidak berhasil karena kuatnya tradisi kawin lari atau merariq di masyarakat setempat.
Syarifudin menceritakan bahwa tiga minggu sebelum pernikahan, ia bersama Kepala Desa telah berusaha memisahkan kedua pengantin setelah pengantin pria melarikan pengantin perempuan. Namun, pengantin pria kembali melarikan pengantin perempuan ke Pulau Sumbawa selama dua hari dua malam. Setelah kembali ke Lombok, orang tua pengantin perempuan menolak untuk memisahkan anak mereka karena telah dibawa kabur.
Syarifudin mengakui bahwa tradisi kawin lari masih sangat kuat di masyarakat pedesaan Lombok dan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka pernikahan anak di daerah tersebut. Ia berharap agar masyarakat dapat lebih memahami dampak negatif pernikahan anak dan bersedia untuk menghentikan praktik tersebut demi masa depan anak-anak.