Perjalanan Stephania Melawan Skizofrenia Katatonik: Dari Gejala Mirip Stroke Hingga Pemulihan
Stephania, seorang wanita asal Bandung, berbagi kisah inspiratifnya dalam menghadapi skizofrenia katatonik, sebuah kondisi yang mengubah hidupnya secara drastis. Diagnosa ini muncul pada tahun 2018, saat usianya menginjak 26 atau 27 tahun.
Gejala awal yang dialami Stephania sangat mengkhawatirkan, menyerupai serangan stroke. Ia kehilangan kemampuan berbicara, mengalami kelumpuhan, tubuhnya menjadi kaku, dan tidak mampu merespons rangsangan apapun selama hampir 40 menit. Kondisi darurat ini mengharuskan Stephania dilarikan ke sebuah rumah sakit di Jakarta untuk mendapatkan penanganan medis segera dan serangkaian pemeriksaan komprehensif, termasuk rontgen otak.
Hasil pemeriksaan mengungkapkan bahwa Stephania mengidap skizofrenia katatonik, sebuah bentuk skizofrenia yang memengaruhi kemampuan motorik dan gerakan tubuh. "Skizofrenia yang aku alami ini masih dalam fase katatonik, yang mana menyerang fisik," ungkap Thepi, sapaan akrabnya, dalam sebuah wawancara.
Gejala yang dialami Stephania tidak hanya terbatas pada gangguan fisik seperti tremor dan kekakuan otot. Ia juga mengalami gangguan psikologis yang signifikan. Ketakutan yang terus-menerus menghantuinya, ketidakmampuan untuk sendirian, dan kecemasan ekstrem saat berada di tengah keramaian menjadi bagian dari kesehariannya. Dalam kurun waktu dua bulan, ia berpindah tempat tinggal hingga tujuh kali karena merasa terus diawasi dan dikejar oleh entitas tak kasat mata, serta keyakinan bahwa ada kamera tersembunyi di kamarnya.
Thepi juga mengalami episode tertawa tanpa kendali di tempat umum, bahkan saat berada di kantor. Ia tidak mampu menghentikan tawa tersebut, yang seringkali disertai dengan air mata. "Sampai keluar air mata karena nangis, karena memang sebenarnya nggak mau ketawa tapi refleks," jelasnya.
Rasa takut yang terus menerus memburuk kondisinya, hingga dokter mendiagnosisnya dengan paranoia. Ia menjalani perawatan intensif di rumah sakit selama hampir tiga bulan, dengan kunjungan mingguan untuk observasi dan terapi. Salah satu terapi yang disarankan dokter adalah menggali minat dan hobinya. Karena Thepi menyukai menulis dan menggambar, ia difasilitasi dengan cat air.
Selain pengobatan medis, konseling dengan psikolog juga menjadi bagian penting dari pemulihan Thepi. Sesi konseling membantunya mengidentifikasi pemicu atau trigger dari kondisinya.
Menggali Pemicu Skizofrenia Katatonik
Menurut Thepi, diskusi dengan terapisnya mengarah pada kemungkinan keterkaitan kondisinya dengan kebiasaan masa lalunya di usia 20-an. Ia mengakui pernah rutin mengonsumsi alkohol, yang diduga berkontribusi negatif terhadap kesehatan mentalnya. Selain itu, Thepi terbiasa memendam emosinya sejak lama, yang menyebabkan tubuhnya kelelahan karena terus menanggung beban emosional yang dipendam.
"Makanya si skizofrenianya larinya ke fisik pada saat itu yang pertama," imbuhnya.
Perjuangan Thepi tidak hanya datang dari penyakitnya, tetapi juga dari ketidaksiapan keluarganya dalam menerima kondisinya. Ketika ia mencoba menjelaskan apa yang dialaminya, keluarganya justru mengira ia terkena gangguan mistis atau santet. Ia sempat dibawa pulang ke Kupang dan menjalani ritual pengobatan alternatif. Namun, situasinya semakin memburuk hingga akhirnya ia dibawa ke rumah sakit jiwa di Kupang. Di sana, dokter menjelaskan bahwa kondisinya adalah masalah medis, yang kemudian membuka mata keluarganya.
Pada tahun 2020, kondisi Thepi mulai membaik dan stabil. Ia kembali bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasa. Dengan izin dokter, ia mulai menghentikan konsumsi obat secara bertahap. Meskipun kondisinya sudah stabil, Thepi mengakui bahwa gejala-gejala tersebut masih bisa muncul dalam situasi tertentu. Ia pernah mengalami kekakuan tubuh saat panik, atau melihat hal-hal yang tidak nyata. Namun, berbeda dari sebelumnya, kini ia mampu mengenali dan mengendalikan respons tubuhnya. "Aku kan juga pada saat itu diajar terapi napas, diajarin untuk gimana caranya mengenal badan kalau lagi dalam situasi yang triggering," jelasnya.