KPAI: Perkawinan Anak di Indonesia Marak Akibat Dukungan Keluarga

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan bahwa fenomena perkawinan anak di Indonesia, seperti yang terjadi di Lombok, bukanlah kasus terisolasi. Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyatakan keprihatinannya atas maraknya praktik ini yang menunjukkan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak belum efektif dalam mencegah perkawinan anak.

Menurut Diyah, ironisnya, perkawinan anak seringkali difasilitasi oleh orang tua dan keluarga besar. Padahal, Undang-Undang Perlindungan Anak menekankan pentingnya prinsip perlindungan anak dan jaminan tumbuh kembang anak oleh orang tua. Tindakan orang tua yang memfasilitasi perkawinan anak dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak anak untuk berkembang.

"Orang tua memberikan kesempatan pada anak atau memfasilitasi anak untuk melakukan perkawinan itu artinya ada pelanggaran terhadap hak anak yang dilakukan oleh orangtuanya," kata Diyah.

Lebih lanjut, Diyah menjelaskan bahwa perkawinan anak berpotensi menimbulkan masalah sosial ekonomi dan meningkatkan angka kriminalitas. Ia menekankan perlunya kerjasama lintas kementerian dan sektor untuk mengatasi masalah ini.

Sebelumnya, Kepala Dusun Petak Daye I, Syarifudin, menyampaikan permohonan maaf atas kegaduhan yang disebabkan oleh video pernikahan anak di Lombok yang viral. Syarifudin menjelaskan bahwa pihaknya telah berupaya memisahkan kedua pengantin yang masih di bawah umur, namun terkendala oleh penolakan dari orang tua pengantin perempuan.

Diketahui, pengantin perempuan berusia 15 tahun dan masih bersekolah di SMP, sementara pengantin pria berusia 17 tahun dan putus sekolah. Pernikahan tersebut terjadi setelah pengantin pria membawa kabur pengantin perempuan, yang merupakan bagian dari tradisi merariq.

Sementara itu, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram telah melaporkan kasus ini ke Polres Lombok Tengah, termasuk pihak-pihak yang memfasilitasi perkawinan tersebut. Kepala LPA Mataram, Joko Jumadi, menegaskan bahwa pelaku perkawinan anak dapat dijerat pidana dengan ancaman hukuman hingga 9 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Faktor Pendorong Perkawinan Anak:

Beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan anak di Indonesia antara lain:

  • Tradisi dan Adat: Praktik merariq di Lombok, di mana pria membawa kabur wanita untuk dinikahi, menjadi salah satu contoh bagaimana tradisi dapat memicu perkawinan anak.
  • Faktor Ekonomi: Kemiskinan dapat mendorong keluarga untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan harapan dapat meningkatkan kondisi ekonomi keluarga.
  • Kurangnya Pendidikan: Tingkat pendidikan yang rendah, terutama pada anak perempuan, juga berkontribusi pada tingginya angka perkawinan anak.
  • Lemahnya Penegakan Hukum: Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perkawinan anak juga menjadi faktor pendorong.

Dampak Perkawinan Anak:

Perkawinan anak memiliki dampak negatif yang signifikan, baik bagi individu maupun masyarakat, antara lain:

  • Kesehatan: Anak perempuan yang menikah dini berisiko mengalami masalah kesehatan reproduksi, seperti komplikasi kehamilan dan persalinan.
  • Pendidikan: Perkawinan anak seringkali memaksa anak perempuan untuk putus sekolah, sehingga menghambat perkembangan pendidikan dan karir mereka.
  • Ekonomi: Perkawinan anak dapat memperburuk kemiskinan karena anak perempuan yang menikah dini seringkali tidak memiliki keterampilan atau kesempatan untuk bekerja.
  • Sosial: Perkawinan anak dapat menyebabkan isolasi sosial dan depresi pada anak perempuan.

Upaya Pencegahan Perkawinan Anak:

Pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu melakukan upaya yang lebih intensif untuk mencegah perkawinan anak, antara lain:

  • Peningkatan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif perkawinan anak.
  • Pendidikan: Meningkatkan akses pendidikan bagi anak perempuan.
  • Penegakan Hukum: Memperkuat penegakan hukum terhadap pelaku perkawinan anak.
  • Kerjasama Lintas Sektor: Meningkatkan kerjasama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam upaya pencegahan perkawinan anak.

Dengan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan angka perkawinan anak di Indonesia dapat ditekan dan hak-hak anak dapat terlindungi.