Dari Antar Penumpang ke Paket: Dilema Kurir Instan di Tengah Kota

Di tengah kesibukan Jakarta, fenomena peralihan profesi dari pengemudi ojek online (ojol) menjadi kurir instan semakin marak. Para pengemudi ini mencari alternatif pekerjaan yang dianggap lebih stabil dan minim konflik dibandingkan mengangkut penumpang. Namun, transisi ini tidak serta merta membawa angin segar, melainkan menghadirkan tantangan baru, terutama terkait sistem bagi hasil yang dinilai kurang transparan.

Bagi sebagian pengemudi, keputusan untuk beralih menjadi kurir instan didorong oleh keinginan untuk menghindari interaksi yang kadang melelahkan dengan penumpang. Fadli, seorang mantan pengemudi ojol, mengungkapkan bahwa mengantar barang lebih menenangkan karena minim komplain dan tuntutan yang tidak masuk akal. "Penumpang itu kadang rewel, suka mengatur rute atau marah-marah kalau terlambat," ujarnya. Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Siti, seorang ibu rumah tangga yang memilih menjadi kurir instan untuk fleksibilitas waktu dan rute. Ia menambahkan, "Kalau antar paket lebih fleksibel. Bisa atur rute sendiri asal sesuai estimasi waktu." Meskipun demikian, pekerjaan sebagai kurir instan juga memiliki tantangan tersendiri, seperti mengangkat barang berat ke gedung bertingkat tanpa lift atau menerjang hujan deras demi memenuhi target pengiriman.

Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh para kurir instan adalah skema bagi hasil yang dianggap tidak adil. Banyak pengemudi mengeluhkan bahwa bagian yang mereka terima jauh lebih kecil dibandingkan dengan tarif yang dibayarkan oleh pelanggan. Ridwan, seorang kurir instan, mencontohkan bahwa ia pernah hanya menerima separuh dari tarif yang dibayarkan oleh pelanggan sebesar Rp 200.000. Ketidakjelasan ini memicu pertanyaan tentang ke mana sisa uang tersebut dialokasikan. Selain itu, seringkali terdapat ketidaksesuaian antara data berat barang yang tertera di aplikasi dengan kondisi riil di lapangan. Hal ini memaksa pengemudi untuk membawa beban yang melebihi kapasitas motor mereka, yang dapat membahayakan keselamatan.

Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, banyak pengemudi ojol yang beralih menjadi kurir instan tetap bertahan. Pendapatan harian yang lumayan, berkisar antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000, menjadi motivasi utama. Fadli mengungkapkan bahwa ia bekerja keras demi keluarga, namun juga berusaha menjaga kesehatan mentalnya. "Kalau bisa dapat uang tanpa dimaki-maki, ya kenapa enggak?" ujarnya. Bagi para pengemudi ini, kemampuan untuk mengelola emosi menjadi kunci untuk bertahan di tengah ketidakpastian. Mengantar paket mungkin tidak selalu mudah, namun setidaknya tidak meninggalkan luka emosional seperti yang sering mereka alami saat berhadapan dengan penumpang yang tidak sabar atau komplain.

Berikut adalah beberapa tantangan yang dihadapi oleh para kurir instan:

  • Sistem bagi hasil yang tidak transparan
  • Beban kerja yang berat
  • Ketidaksesuaian data barang
  • Persaingan yang ketat

Para pengemudi berharap agar aplikator dapat lebih memperhatikan kesejahteraan mereka dan menciptakan sistem yang lebih adil dan transparan. Dengan demikian, pekerjaan sebagai kurir instan dapat menjadi pilihan yang lebih menarik dan berkelanjutan bagi banyak orang.