Masa Depan Geopark Kaldera Toba di Ujung Tanduk: Ancaman Pencabutan Status UNESCO Akibat Tata Kelola yang Buruk
Geopark Kaldera Toba Terancam Kehilangan Status UNESCO Akibat Kelalaian Sistemik
Kaldera Toba, sebuah kawasan yang diakui oleh UNESCO sebagai Global Geopark (UGGp) pada tahun 2020, kini menghadapi ancaman serius. Status yang diperoleh melalui perjuangan panjang ini terancam dicabut akibat tata kelola yang dinilai buruk dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh UNESCO.
Pada September 2023, UNESCO memberikan peringatan keras atau "kartu kuning" kepada Geopark Kaldera Toba. Peringatan ini bukan hanya sekadar teguran administratif, melainkan indikasi kuat bahwa status UGGp dapat dicabut jika tidak ada perbaikan signifikan dalam waktu dekat. Hal ini menjadi sorotan tajam dalam Rapat Komisi VII DPR RI, dimana para legislator menyoroti dampak negatif yang akan ditimbulkan pada sektor pariwisata nasional, khususnya di kawasan Danau Toba dan sekitarnya.
Masalah Tata Kelola dan Koordinasi yang Lemah
Salah satu akar masalah utama adalah lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan. Danau Toba, sebagai kawasan strategis nasional, dikelilingi oleh tujuh kabupaten yang cenderung berjalan sendiri-sendiri dengan ego sektoral masing-masing. Akibatnya, perencanaan dan pelaksanaan program pariwisata menjadi tidak terintegrasi, minim basis data, dan seringkali hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek.
Selain itu, peran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagai koordinator lintas kabupaten dan perpanjangan tangan pemerintah pusat dinilai kurang optimal. Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), yang seharusnya menjadi katalisator pembangunan kawasan, juga menghadapi kendala seperti minimnya kewenangan dan anggaran. Kondisi ini menunjukkan adanya kelalaian sistemik yang perlu segera diatasi.
Kerusakan Lingkungan dan Konflik Agraria
Selain masalah tata kelola, kerusakan lingkungan juga menjadi perhatian serius. Pembalakan liar, pencemaran air danau, dan pembangunan infrastruktur yang tidak terkendali terus terjadi. Konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan, seperti yang terjadi antara PT TPL dan komunitas adat di Natumingka, Parmonangan, hingga Sihaporas, juga memperburuk situasi.
Penangkapan tokoh adat yang memperjuangkan hak ulayat semakin menunjukkan bahwa negara belum mampu menjamin kedaulatan ekologis. Padahal, komunitas adat memiliki pengetahuan lokal yang teruji dalam menjaga kelestarian alam. Jika mereka dikriminalisasi, maka penjaga terakhir ekosistem pun akan kehilangan kekuatannya.
Bencana alam seperti banjir bandang di Humbang Hasundutan pada Desember 2023 dan di Parapat pada Maret 2025 menjadi bukti nyata bahwa pembangunan tanpa arah hanya akan menciptakan kehancuran. Kerusakan hutan dan pencemaran air yang tidak terkendali adalah faktor utama penyebab bencana tersebut.
Urgensi Pembenahan Tata Kelola
Waktu dua tahun yang diberikan oleh UNESCO harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk melakukan pembenahan tata kelola secara menyeluruh. Pemerintah pusat perlu melakukan intervensi nyata dan terukur, tidak hanya sekadar mengadakan rapat-rapat seremonial dan koordinasi semu. Identifikasi akar masalah kerusakan lingkungan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan juga menjadi prioritas utama.
Status Geopark Kaldera Toba bukan hanya sekadar simbol gengsi internasional, melainkan juga merupakan pengakuan atas warisan geologi dan budaya yang tak ternilai. Lebih dari itu, penyelamatan status ini berarti menyelamatkan kehidupan masyarakat di sekitar Danau Toba dan menjaga kelestarian alam untuk generasi mendatang. Pemerintah pusat tidak boleh lagi permisif dan harus memastikan bahwa setiap kebijakan terintegrasi dan berbasis data, bukan sekadar selera politik.
Saatnya membuktikan bahwa pembangunan tidak harus mengorbankan keberlanjutan, dan bahwa Danau Toba bukan sekadar objek wisata, melainkan subjek ekologi yang harus dilindungi.