Praktik Pernikahan Anak di Lombok Tengah: Antara Desakan Ekonomi dan Tradisi

Fenomena pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya di Lombok Tengah, masih menjadi isu krusial yang memerlukan penanganan komprehensif. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB mengungkapkan bahwa faktor ekonomi dan tradisi menjadi pendorong utama praktik yang merugikan masa depan anak-anak tersebut.

LPA NTB menyoroti bahwa pernikahan anak seringkali dipicu oleh keinginan orang tua untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Dalam beberapa kasus, praktik selabar, yaitu pemberian mahar atau hadiah dari pihak laki-laki kepada keluarga perempuan, menjadi daya tarik tersendiri. Meskipun jumlahnya tidak signifikan, selabar dianggap sebagai solusi instan untuk mengatasi kesulitan finansial yang dihadapi keluarga.

Selain faktor ekonomi, tradisi dan norma sosial yang masih kuat di masyarakat juga berperan dalam melanggengkan praktik pernikahan anak. Kurangnya kesadaran akan dampak negatif pernikahan dini, baik bagi kesehatan fisik dan mental anak, maupun bagi kelanjutan pendidikan mereka, menjadi tantangan tersendiri.

Data menunjukkan bahwa angka pernikahan anak di NTB mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, tercatat 17,32% kasus pernikahan anak, kemudian menurun menjadi 14,96% pada tahun 2024. Namun, penurunan ini masih tergolong lambat dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, dan NTB masih berada di urutan teratas dalam angka pernikahan anak secara nasional.

Untuk mengatasi masalah ini, LPA NTB menekankan pentingnya peran aktif dari seluruh stakeholder, terutama pemerintah desa dan tokoh masyarakat. Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai dampak negatif pernikahan anak menjadi kunci utama dalam upaya pencegahan. Selain itu, LPA NTB mendorong setiap desa untuk memiliki Peraturan Desa (Perdes) atau awik-awik yang mengatur tentang pencegahan pernikahan anak.

Sebagai contoh, Desa Selebung di Lombok Tengah telah menerapkan sanksi denda sebesar Rp 25 juta bagi orang tua yang menikahkan anaknya di bawah umur. Langkah ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya pernikahan anak di desa tersebut.

Upaya pencegahan pernikahan anak memerlukan pendekatan yang holistik dan melibatkan semua pihak. Selain penegakan hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat, perlu juga adanya program-program pemberdayaan ekonomi keluarga, peningkatan akses pendidikan, dan layanan kesehatan yang memadai bagi anak-anak.