Penghapusan Subsidi Ongkos Kirim Didorong untuk Tingkatkan Kesejahteraan Kurir
Gelombang disrupsi digital terus menghantam berbagai sektor industri, tak terkecuali jasa pengiriman ekspres, pos, dan logistik. Persaingan ketat yang dipicu oleh keberadaan platform marketplace telah mengubah lanskap bisnis secara fundamental, memunculkan tantangan baru bagi para pelaku usaha dan terutama para kurir yang menjadi ujung tombak operasional.
Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) mengemukakan kekhawatiran serius terkait dampak negatif program gratis ongkos kirim (ongkir) terhadap kesejahteraan kurir. Ketua Umum DPP Asperindo, Budiyanto Darmastono, secara tegas mengusulkan penghapusan program subsidi ongkir ini, melihatnya sebagai pemicu utama perang tarif yang merugikan.
"Praktik free ongkir telah menjadi masalah struktural bagi perusahaan kurir," ungkap Budiyanto. Perusahaan dengan modal besar cenderung agresif menerapkan program ini untuk menarik pelanggan, sementara perusahaan kecil dan menengah (UKM) kesulitan bersaing dan terpaksa menanggung kerugian. Akibatnya, kesejahteraan kurir seringkali terabaikan dalam upaya menekan biaya operasional.
Transformasi Model Bisnis Kurir
Sebelum era marketplace, perusahaan kurir umumnya menerapkan sistem kerja kontrak atau pekerja tetap bagi para kurir. Namun, persaingan yang semakin ketat memaksa perusahaan untuk beradaptasi dengan mengubah model bisnis. Kurir kini banyak yang berstatus sebagai mitra, dengan pendapatan yang sangat bergantung pada kinerja individu.
"Perusahaan kurir harus mensiasati agar bisa bertahan dengan harga pengiriman yang terus turun mengikuti tren perang harga," jelas Budiyanto. Pola kemitraan ini, meskipun memberikan fleksibilitas, juga menimbulkan ketidakpastian pendapatan dan minimnya jaminan sosial bagi para kurir.
Regulasi dan Penataan Industri
Asperindo bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) terus berupaya menata industri kurir pos logistik agar lebih berkelanjutan. Salah satu langkah konkret adalah penerbitan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Permenkominfo) Nomor 8 Tahun 2025. Regulasi ini diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan adil bagi semua pelaku industri.
"Apabila Permenkominfo Nomor 8 ini dijalankan dengan konsisten, maka perusahaan kurir akan tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga berdampak positif terhadap kesejahteraan karyawan, termasuk kurir," tegas Budiyanto. Implementasi regulasi yang efektif menjadi kunci untuk mewujudkan industri kurir yang lebih profesional dan berkeadilan.
Fleksibilitas Waktu Kerja Kurir
Budiyanto juga menyoroti fleksibilitas waktu kerja yang dinikmati sebagian kurir. Dengan rata-rata waktu kerja kurang dari tujuh jam per hari, kurir memiliki kesempatan untuk mencari penghasilan tambahan di luar pekerjaan utama mereka.
"Setelah selesai mengantar paket, kurir tersebut bisa melakukan pekerjaan lain. Pola kerja kurir sekarang sebenarnya kurang dari 7 jam, kadang kurir hanya bekerja 4 jam sudah selesai. Karena tergantung yang dibawa paketnya," jelasnya. Efisiensi rute pengiriman yang semakin baik juga memungkinkan kurir untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dan memiliki waktu luang yang lebih banyak.
Berikut beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kurir di era digital:
- Penghapusan subsidi ongkos kirim: Mencegah perang tarif yang merugikan.
- Penataan regulasi: Menciptakan iklim usaha yang adil dan berkelanjutan.
- Peningkatan kompetensi kurir: Meningkatkan kualitas pelayanan dan daya saing.
- Pemberian jaminan sosial: Memberikan perlindungan bagi kurir sebagai mitra kerja.
- Pemanfaatan teknologi: Meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.