Refleksi Dua Dekade Reformasi: Urgensi Pembaruan Gerakan Perubahan di Indonesia
Refleksi Dua Dekade Reformasi: Urgensi Pembaruan Gerakan Perubahan di Indonesia
Reformasi 1998 menjadi titik balik penting dalam sejarah Indonesia, lahir dari akumulasi ketidakadilan struktural yang mencakup pembungkaman kebebasan berpendapat, dominasi militeristik, dan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela. Kondisi ini menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang signifikan, menghambat kemandirian ekonomi bangsa, dan mengekang potensi rakyat. Namun, setelah lebih dari dua dekade, semangat dan agenda reformasi tersebut dipertanyakan relevansinya.
Banyak agenda utama reformasi, seperti pemberantasan KKN, supremasi hukum, dan demokratisasi, belum mencapai hasil yang transformatif. Korupsi masih menjadi masalah serius, oligarki semakin kuat, dan demokrasi cenderung menjadi ritual prosedural tanpa partisipasi yang berarti dari masyarakat. Kesenjangan sosial terus meningkat, sementara akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pekerjaan layak masih menjadi tantangan bagi banyak warga negara. Kondisi ini menandakan stagnasi dalam proyek perubahan sosial-politik Indonesia.
Evaluasi dan Arah Baru
Kini, dihadapkan pada era globalisasi, revolusi digital, krisis iklim, dan dinamika geopolitik baru, muncul pertanyaan mendasar: Apakah narasi 1998 masih relevan, ataukah diperlukan gelombang baru reformasi yang lebih adaptif dan relevan dengan realitas saat ini? Stagnasi yang berlangsung selama hampir tiga dekade menunjukkan bahwa metode dan narasi lama tidak lagi memadai. Dibutuhkan keberanian untuk merumuskan ulang agenda perubahan.
Siklus Perubahan Sosial
Teori perubahan sosial Pitirim Sorokin menjelaskan bahwa masyarakat berkembang melalui siklus dinamis antara fase ideologis-spiritual dan fase materialistik-sekuler. Reformasi 1998 dapat dilihat sebagai puncak semangat idealisme kolektif, yang kini tergerus oleh gelombang materialisme dan pragmatisme kekuasaan. Secara historis, Indonesia mengalami siklus perubahan besar setiap dua hingga tiga dekade. Setelah kemerdekaan pada tahun 1945 dan transisi ke Orde Baru pada tahun 1966, Reformasi 1998 muncul sebagai koreksi terhadap rezim otoriter yang korup. Namun, semangat reformasi tampaknya kehilangan energi transformatifnya setelah 27 tahun berjalan.
Tantangan dan Krisis Hegemonik
Saat ini, Indonesia berada di titik kritis sejarah. Semangat dan institusi reformasi mulai kehilangan daya dorong, sementara narasi perubahan baru yang relevan belum sepenuhnya terbentuk. Krisis iklim, ketimpangan struktural, dan keterasingan rakyat dari proses politik yang elitis menuntut pembaruan gerakan perubahan dengan visi yang lebih tajam dan strategi yang lebih adaptif.
Kondisi ini oleh Antonio Gramsci disebut sebagai krisis hegemonik, di mana tatanan lama tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sementara tatanan baru belum terbentuk. Jürgen Habermas mengingatkan bahwa reformasi sejati adalah proyek emansipatoris yang hanya dapat diperjuangkan melalui diskursus publik yang rasional, terbuka, dan inklusif. Namun, ruang publik di Indonesia semakin dikomodifikasi oleh kepentingan pasar dan kekuasaan, sehingga suara rakyat terpinggirkan.
Agenda Reformasi yang Diperbarui
Mengusulkan "gelombang baru perubahan" bukan berarti menolak Reformasi 1998, melainkan melampauinya secara reflektif dan kritis. Dibutuhkan reformasi tahap lanjut dengan pendekatan yang lebih sistemik, strategi yang lebih cerdas, dan agenda yang lebih konkret. Langkah awal adalah transformasi politik dan demokrasi secara substansial, di mana suara rakyat menjadi kendali penuh atas kekuasaan. Demokrasi substansial menuntut partisipasi aktif masyarakat, transparansi total, dan penegakan supremasi hukum tanpa pengecualian.
Pilar-pilar Reformasi Jilid Kedua
Berikut pilar-pilar agenda Reformasi yang diperbarui :
- Transformasi Politik dan Demokrasi Subtantial: Memastikan suara rakyat menjadi kendali penuh atas kekuasaan.
- Desentralisasi Kekuasaan: Memberikan otonomi sesungguhnya kepada daerah.
- Ekonomi Berkeadilan Sosial: Merombak struktur ekonomi agar kekayaan dan sumber daya nasional kembali ke rakyat.
- Pemberdayaan Masyarakat Sipil Berbasis Teknologi Digital: Memastikan akses informasi, pendidikan, dan partisipasi sosial-politik yang merata.
- Revolusi Pendidikan: Menghasilkan manusia kritis, kreatif, dan berintegritas moral tinggi.
- Reformasi Agraria dan Redistribusi Kekayaan: Memperluas penguasaan tanah dan akses modal kepada rakyat kecil.
- Tata Kelola Daerah yang Merata: Pemerataan pembangunan dan penguatan otonomi daerah berbasis kearifan lokal.
- Reformasi Lingkungan dan Keberlanjutan: Pembangunan berorientasi kelestarian lingkungan, energi terbarukan, dan perlindungan wilayah adat.
Agenda Reformasi yang diperbarui merupakan koreksi kritis terhadap kegagalan Reformasi sebelumnya dan menjadi fase akseleratif untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju, inklusif, dan berperadaban. Reformasi ini adalah respons adaptif terhadap dinamika zaman, menekankan rasionalitas dalam kebijakan, ketangguhan institusi negara, dan solidaritas sosial sebagai fondasi pembangunan nasional berkelanjutan.