Polri Tegaskan Profesionalitas dalam Penyelidikan Ijazah Jokowi, Tanggapi Keberatan TPUA
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menanggapi keberatan yang diajukan oleh Tim Pembela Ulama & Aktivis (TPUA) terkait penghentian penyelidikan atas dugaan pemalsuan ijazah yang melibatkan Presiden Joko Widodo. Polri menegaskan bahwa seluruh proses penyelidikan telah dilaksanakan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, menyatakan kepada wartawan pada hari Selasa bahwa pihaknya bekerja dengan profesionalisme tinggi, dan setiap tindakan yang diambil selama penyelidikan memiliki dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
TPUA sebelumnya telah menyampaikan keberatan atas hasil gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik Polri. Menanggapi hal ini, Brigjen Djuhandhani menjelaskan bahwa dalam proses gelar perkara, Polri melibatkan berbagai pihak pengawas internal, termasuk Pengawas Penyidikan (Wassidik), Propam, Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Polri, dan Divisi Hukum (Divkum) Polri. Keterlibatan unsur pengawas ini menunjukkan komitmen Polri untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan penyelidikan.
Lebih lanjut, Brigjen Djuhandhani menjelaskan bahwa dokumen ijazah asli milik Joko Widodo telah dikembalikan setelah dilakukan uji laboratorium forensik untuk memastikan keasliannya. Mengenai apakah ijazah tersebut akan diperlihatkan kepada publik, Djuhandhani menyatakan bahwa hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan pemilik ijazah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Beliau menambahkan, ijazah tersebut dapat diperlihatkan jika diperlukan dalam proses persidangan.
Sebelumnya, pada hari Senin, TPUA mendatangi gedung Bareskrim Polri untuk mendesak dilakukannya gelar perkara khusus terkait kasus dugaan ijazah palsu yang melibatkan Presiden Jokowi. Wakil Ketua TPUA, Rizal Fadhillah, menyatakan bahwa kedatangan mereka bertujuan untuk menyampaikan poin-poin keberatan atas hasil gelar perkara sebelumnya dan penghentian penyelidikan yang telah dilakukan pada tanggal 22 Mei. Rizal Fadhillah menyoroti adanya 26 poin keberatan yang dituangkan dalam surat yang diserahkan kepada pihak Bareskrim. Salah satu poin penting yang ditekankan adalah penilaian bahwa penghentian penyelidikan dan gelar perkara yang dilakukan oleh Bareskrim memiliki cacat hukum.
Menurut Rizal, proses gelar perkara seharusnya melibatkan pelapor dan terlapor untuk memberikan keterangan dan bukti. Ia menilai bahwa dalam kasus ini, pelapor dan terlapor tidak diundang dalam proses gelar perkara, sehingga proses tersebut dinilai bersifat internal dan keputusannya sangat menentukan. Ketidak hadiran pelapor dan terlapor dalam gelar perkara menjadi dasar bagi TPUA untuk menyatakan bahwa proses tersebut cacat hukum dan tidak memenuhi prinsip-prinsip keadilan.