Penolakan Kepala Desa di Purworejo terhadap Inisiatif Koperasi Desa Merah Putih: Kekhawatiran Beban Baru dan Ketidakjelasan Konsep

Penolakan Inisiatif Koperasi Desa Merah Putih di Purworejo: Suatu Analisis

Gagasan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto menuai penolakan dari mayoritas kepala desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Penolakan ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan, terutama kekhawatiran akan beban tambahan bagi desa dan kurang matangnya konsep program tersebut. Dwinanto, Kepala Desa Krandegan, Kecamatan Bayan, menjadi salah satu perwakilan yang lantang menyuarakan keberatan ini. Menurutnya, inisiatif ini dinilai kontraproduktif dan berpotensi mengaburkan fokus pembangunan desa yang telah berjalan.

Dwinanto mempertanyakan urgensi pembentukan lembaga baru mengingat keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Bumdesma yang telah berjalan sebagai program utama Kementerian Desa. Ia menekankan perlunya konsistensi kebijakan pembangunan desa, bukannya terus menerus berganti program di setiap pergantian pemerintahan. "Kenapa tidak meneruskan yang sudah baik dan berjalan? PNPM di era SBY diganti dana desa di era Jokowi, lalu sekarang akan diganti lagi dengan Koperasi Desa Merah Putih?" ujarnya, menyinggung ketidakjelasan arah kebijakan yang berdampak pada pengelolaan desa.

Kritik terhadap Konsep dan Mekanisme Koperasi:

Lebih lanjut, Dwinanto mengkritisi mekanisme koperasi yang berbeda dengan BUMDes. Prinsip "satu anggota satu suara", menurutnya, dapat merugikan desa yang telah menginvestasikan modal besar. "Jika pemdes punya modal simpanan sukarela misalnya Rp 100 juta, suaranya akan sama dengan anggota yang modalnya hanya Rp 1 juta. Di mana bargaining desa?" tanyanya. Ia membandingkan hal ini dengan BUMDes yang mensyaratkan minimal 51 persen modal dikuasai desa.

Sumber modal awal koperasi juga menjadi sorotan. Kemungkinan besarnya berasal dari pinjaman berpotensi menambah beban keuangan desa, terutama jika koperasi mengalami kerugian. "Jika modal awal adalah utang, siapa yang akan membayar bunga jika koperasi gagal? Apakah bunga juga dibebankan kepada dana desa?" ujarnya. Kekhawatiran ini semakin menguat mengingat terbatasnya sumber daya manusia (SDM) di kebanyakan desa untuk mengelola usaha ekonomi.

Keunikan Desa dan Beban Tambahan:

Dwinanto juga menyoroti keunikan setiap desa yang memiliki potensi dan masalah yang berbeda. Penerapan kebijakan nasional yang seragam, menurutnya, tidak efektif. Ia menegaskan perlunya pendekatan yang lebih spesifik dan memperhatikan karakteristik masing-masing desa.

Terakhir, Dwinanto mengungkapkan bahwa dana desa saat ini telah banyak dialokasikan untuk program-program prioritas seperti BLT, penanganan stunting, ketahanan pangan, dan ILP. Penambahan program koperasi akan mengurangi porsi dana yang tersedia untuk pembangunan dan pemberdayaan desa. Ia menyimpulkan bahwa program ini terkesan terburu-buru dan belum matang secara konsep, sehingga menimbulkan polemik di tingkat desa.

Dukungan terhadap Kemandirian Ekonomi Desa, namun melalui Penguatan BUMDes:

Dwinanto menegaskan kembali dukungannya terhadap gagasan Presiden Prabowo Subianto terkait kemandirian ekonomi desa. Namun, ia menekankan bahwa hal tersebut dapat dicapai melalui penguatan BUMDes yang telah diatur dalam Undang-Undang Desa, bukan dengan membentuk koperasi baru yang konsepnya masih perlu diperjelas dan dinilai akan memberatkan desa.

Kesimpulannya, penolakan kepala desa di Purworejo terhadap inisiatif Koperasi Desa Merah Putih bukanlah penolakan terhadap cita-cita kemandirian ekonomi desa, melainkan suatu kritik konstruktif terhadap konsep program yang dinilai kurang matang dan berpotensi menambah beban desa.