Diplomasi Indonesia di Tengah Pusaran Geopolitik Global: Menakar Makna 75 Tahun Hubungan RI-Tiongkok
markdown Kunjungan Perdana Menteri Tiongkok, Li Qiang, ke Jakarta pada tanggal 25 Mei 2025, menandai peringatan 75 tahun jalinan diplomasi antara Indonesia dan Tiongkok. Lebih dari sekadar agenda rutin, momentum ini menjadi cerminan perjalanan panjang kedua negara dalam membangun relasi yang kokoh, melewati berbagai dinamika sejarah dan memperkuat kerja sama ekonomi.
Momen bersejarah ini menggarisbawahi upaya kedua negara dalam membangun fondasi kepercayaan strategis di tengah lanskap geopolitik global yang dinamis. Kompleksitas pergeseran kekuatan di kawasan Indo-Pasifik menuntut kepemimpinan regional yang adaptif dan visioner. Ketegangan antar negara adidaya, persaingan pengaruh di Laut Cina Selatan, serta kompetisi ekonomi dan teknologi global menjadikan kawasan ini sebagai pusat perhatian dalam rivalitas internasional.
Indonesia, sebagai negara maritim terbesar dan kekuatan menengah yang memiliki kredibilitas dalam berdialog dan menjembatani kepentingan berbagai negara, memainkan peran sentral dalam dinamika ini. Penyambutan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara kenegaraan di Istana Merdeka mengisyaratkan penguatan posisi Indonesia dalam peta kekuatan global yang terus berubah.
Indonesia dan Peran Strategis di Indo-Pasifik
Indonesia, dengan posisinya yang strategis sebagai negara kepulauan terbesar yang menguasai Selat Malaka, Sunda, dan Lombok, memegang peranan vital dalam percaturan geopolitik global. Mengacu pada teori "Rimland" yang dikemukakan Nicholas Spykman, kontrol atas wilayah pesisir Eurasia, termasuk Asia Tenggara, menjadi kunci untuk mengendalikan dunia. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah semakin memperkuat posisi strategis Indonesia di mata dunia.
Pemerintahan Presiden Prabowo menyadari potensi ini dan berupaya untuk mengubah posisi geografis Indonesia menjadi kekuatan negosiasi yang signifikan. Strategi "bebas aktif" yang selama ini dianut kini diperkuat dengan ketegasan dalam mengambil sikap geopolitik, menjadikan Indonesia bukan hanya sekadar aset pasif, melainkan pemain aktif dalam kancah internasional.
Strategi Hedging: Keseimbangan dalam Diplomasi
Kunjungan PM Li Qiang menegaskan pentingnya Indonesia bagi Tiongkok, terutama dalam konteks persaingan yang semakin intens dengan Amerika Serikat. Dalam menghadapi dinamika ini, Indonesia menerapkan strategi hedging yang seimbang, sebagaimana dijelaskan oleh Evelyn Goh. Strategi ini mencakup upaya mempererat kerja sama ekonomi dengan Tiongkok, sambil tetap menjaga kemitraan strategis dengan negara-negara adidaya lainnya, seperti Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia.
Presiden Prabowo secara cermat memainkan strategi ini, membuka diri terhadap investasi, perdagangan, dan pembangunan infrastruktur dari Tiongkok, namun di sisi lain, terus memperkuat diplomasi pertahanan dengan negara-negara demokratis, khususnya dalam menjaga stabilitas di Laut Natuna Utara dan kawasan Indo-Pasifik.
Sumber Daya Alam sebagai Kekuatan Geoekonomi
Kekayaan sumber daya alam Indonesia, seperti nikel, bauksit, dan tembaga, menjadi daya tarik utama bagi Tiongkok. Hal ini sejalan dengan konsep geoekonomi yang dikemukakan oleh Edward Luttwak, yang menekankan bahwa kekuatan ekonomi kini menjadi instrumen utama dalam persaingan pengaruh global. Indonesia tidak hanya menjadi tujuan investasi, tetapi juga memegang kunci dalam rantai pasok global.
Presiden Prabowo menekankan pentingnya hilirisasi dan kemandirian industri. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada mitra asing. Transfer teknologi dan keterlibatan BUMN serta swasta nasional dalam proyek-proyek strategis menjadi prioritas utama dalam memperkuat posisi Indonesia.
Memaknai 75 Tahun Hubungan RI-Tiongkok
Peringatan 75 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok menjadi momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang kedua negara. Namun, dinamika global yang terus berubah, termasuk ketegangan di Laut Cina Selatan, persaingan teknologi, dan konflik global, menuntut kebijakan luar negeri yang lebih adaptif, gesit, dan berorientasi pada kepentingan nasional.
Presiden Prabowo menyadari bahwa simbolisme saja tidak cukup. Indonesia harus mampu memposisikan diri sebagai pemain utama, bukan hanya objek tarik-menarik kekuatan besar. Kepemimpinan yang kuat dan kemampuan untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki menjadi kunci dalam memimpin kawasan, bukan bergantung pada pihak lain.
Kunjungan PM Li Qiang ke Jakarta merupakan pengakuan atas peran strategis Indonesia di Indo-Pasifik. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana Indonesia dapat memainkan peran yang lebih aktif, cerdas, dan tegas dalam menjaga kepentingan nasionalnya.