Regulasi Impor Dituding Jadi Biang Kerok Kemunduran Manufaktur, DPR RI Desak Revisi PMK
Polemik seputar kinerja industri manufaktur nasional kembali mencuat, dengan sorotan tajam tertuju pada regulasi impor yang dianggap terlalu longgar dan melemahkan daya saing produk dalam negeri. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, lantang menyuarakan perlunya evaluasi mendalam dan revisi terhadap sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dinilai kontraproduktif terhadap pertumbuhan sektor industri.
Dalam keterangan persnya, Lamhot menyatakan bahwa kemerosotan industri nasional tidak bisa semata-mata dilimpahkan kepada dampak perang dagang global atau kebijakan proteksionis negara lain. Menurutnya, akar permasalahan justru terletak pada kebijakan domestik yang permisif terhadap impor dan lemahnya pengawasan terhadap arus barang masuk.
"Jangan hanya menyalahkan efek Trump," tegas Lamhot, merujuk pada kebijakan perdagangan mantan Presiden AS Donald Trump. "Dua Peraturan Menteri Keuangan, yakni PMK Nomor 131 Tahun 2018 dan PMK Nomor 28 Tahun 2018 justru menjadi biang kerok utama yang melemahkan industri manufaktur kita."
Lamhot mendesak Kementerian Keuangan untuk segera merevisi kedua PMK tersebut, dengan mempertimbangkan secara komprehensif ekosistem dunia industri. Ia mewanti-wanti bahwa jika revisi tidak segera dilakukan, konsekuensi yang ditimbulkan bisa sangat besar, termasuk peningkatan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
Lebih lanjut, Lamhot menjelaskan secara detail mengenai permasalahan yang terdapat dalam kedua PMK tersebut:
-
PMK Nomor 28 Tahun 2018: Regulasi ini dinilai telah mengubah fungsi awal Pusat Logistik Berikat (PLB) dari yang seharusnya menjadi penyangga ekspor, menjadi jalur masuk barang jadi impor untuk konsumsi, termasuk melalui skema PLB Barang Jadi, PLB E-Commerce, dan PLB Bahan Pokok. Akibatnya, menurut Lamhot, barang-barang dari luar negeri, termasuk produk thrifting dan elektronik murah, semakin mudah membanjiri pasar domestik. Data menunjukkan bahwa sebagian besar impor pakaian jadi dan elektronik masuk melalui skema tempat penimbunan berikat (TPB), seperti PLB dan Gudang Berikat. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas khusus yang seharusnya mendukung industri justru dimanfaatkan untuk memfasilitasi impor barang konsumsi.
-
PMK Nomor 131 Tahun 2018: Regulasi ini memperlonggar penjualan hasil produksi dari kawasan berikat (KB) ke pasar domestik hingga 50 persen tanpa memerlukan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Lamhot menilai bahwa hal ini merupakan bentuk "pembiaran" terhadap masuknya barang-barang non-ekspor ke pasar nasional tanpa pengawasan yang memadai. Pencabutan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 36 Tahun 2019 semakin memperburuk situasi, karena Kemenperin kehilangan dasar hukum untuk mengontrol arus barang tersebut.
Kondisi ini, menurut Lamhot, tercermin dari indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di bawah level 50 selama beberapa bulan terakhir. Kontraksi tersebut mencapai titik terendah pada Juli 2024, dengan skor PMI hanya 48,9. Akibatnya, terjadi lonjakan drastis pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur. Data menunjukkan peningkatan signifikan jumlah pekerja yang terkena PHK dalam beberapa tahun terakhir.
Untuk mengatasi permasalahan banjir impor, Lamhot mengusulkan beberapa solusi konkret, di antaranya:
-
Menurunkan batas maksimal penjualan dari kawasan berikat ke pasar dalam negeri tanpa rekomendasi menjadi 25 persen. Pengawasan dan rekomendasi dari Kemenperin harus diberlakukan untuk penjualan di atas 25 persen, guna melindungi produk lokal dari persaingan tidak sehat dengan barang bebas bea yang seharusnya untuk ekspor.
-
Mempercepat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 untuk mempertegas regulasi impor dan mencegah masuknya barang ilegal.
-
Mendorong pemerintah untuk terus mendukung diversifikasi ekspor ke kawasan nontradisional, seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur, dan India.
-
Memperketat impor melalui pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib serta kebijakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Lamhot juga mengingatkan bahwa target pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada kekuatan sektor industri nasional. Ia menegaskan pentingnya mengembalikan fungsi dan tujuan utama kawasan berikat, yaitu memfasilitasi perusahaan dalam memproduksi barang yang sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor, dengan memberikan kemudahan di bidang perpajakan dan kepabeanan.
"Kawasan berikat seharusnya digunakan untuk barang setengah jadi atau bahan baku, bukan barang jadi," tegas Lamhot. Ia khawatir jika masalah ini terus dibiarkan, akan terjadi deindustrialisasi yang berdampak buruk bagi perekonomian nasional.