MK Putuskan Pendidikan Dasar Negeri dan Swasta Gratis: Pemerintah Wajib Biayai
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting terkait pendidikan dasar di Indonesia. Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025 menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban untuk menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Putusan ini berlaku baik untuk sekolah negeri maupun swasta.
Menanggapi putusan tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menjelaskan implikasi dari putusan MK tersebut. Menurutnya, putusan tersebut mewajibkan pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar, tidak hanya di sekolah negeri, tetapi juga di sekolah dan madrasah swasta. Namun, implementasinya akan disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah. Selain itu, sekolah swasta tetap diperbolehkan memungut biaya dari masyarakat, meskipun telah menerima bantuan pembiayaan dari pemerintah.
Landasan Putusan MK
Salah satu pertimbangan utama MK adalah adanya kesenjangan yang menyebabkan banyak peserta didik tidak dapat tertampung di sekolah negeri. Akibatnya, mereka harus bersekolah di sekolah swasta dengan segala konsekuensi biaya yang menyertainya. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), khususnya Pasal 31 ayat (2), yang tidak memberikan batasan pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara.
MK berpendapat bahwa negara harus mewujudkan kebijakan pembiayaan pendidikan dasar yang mencakup sekolah negeri dan swasta melalui mekanisme bantuan pendidikan atau subsidi, sehingga tidak terjadi kesenjangan akses pendidikan. Namun, MK juga menekankan bahwa tidak semua pendidikan dasar harus sepenuhnya gratis di semua sekolah, terutama sekolah yang diselenggarakan oleh swasta.
MK memandang pendidikan dasar sebagai bagian dari pemenuhan hak atas ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Pemenuhan hak ekosob dapat dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kondisi dan kemampuan negara, karena selalu berkaitan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran. Oleh karena itu, perwujudan pendidikan dasar yang tidak memungut biaya dapat dilakukan secara bertahap, selektif, dan afirmatif, tanpa menimbulkan diskriminasi.
Keberadaan Lembaga Pendidikan Swasta
MK juga menyoroti fakta bahwa satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, seperti sekolah swasta, telah eksis sebelum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) disahkan. Bahkan, beberapa sekolah telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi peserta didik usia pendidikan dasar sejak masa pra-kemerdekaan.
MK mengakui bahwa tidak semua sekolah swasta memiliki kondisi pembiayaan yang sama. Beberapa sekolah menerapkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional, seperti kurikulum internasional, yang menjadi nilai jual sekolah tersebut. Dalam kasus ini, warga negara memilih lembaga pendidikan swasta karena tidak tersedia akses ke sekolah negeri dan memahami konsekuensi biaya yang lebih tinggi.
MK juga mempertimbangkan adanya sekolah swasta yang menerima bantuan dari pemerintah, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau program beasiswa, namun tetap mengenakan biaya untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pendidikan. Di sisi lain, ada juga sekolah yang tidak pernah atau tidak bersedia menerima bantuan dari pemerintah dan sepenuhnya mengandalkan pembiayaan dari peserta didik.
MK berpendapat bahwa tidak tepat dan tidak rasional jika sekolah swasta yang mandiri secara finansial dipaksa untuk tidak memungut biaya sama sekali. Sementara itu, kemampuan fiskal pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat masih terbatas.
Putusan MK ini merupakan respons terhadap permohonan uji materiil yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dan tiga warga negara.