Jeritan Para Pengemudi Ojek Online: Antara Penghasilan Merosot dan Biaya Hidup Meningkat

Kisah Pilu di Balik Aplikasi: Dilema Pengemudi Ojek Online

Di balik kemudahan layanan transportasi dan pesan antar makanan yang ditawarkan oleh aplikasi, tersimpan kisah perjuangan para pengemudi ojek online (ojol) yang semakin hari semakin terhimpit. Rizal, seorang pengemudi ojol, memulai harinya sejak pukul 05.30 pagi. Namun, dalam tiga hari terakhir, ia hanya mendapatkan segelintir pesanan. Padahal, ia telah mencoba berbagai cara, termasuk mengikuti sistem fitur berbayar dengan harapan mendapatkan lebih banyak order. Namun, hasilnya nihil. Rizal merasa sistem aplikasi kini lebih memprioritaskan mitra yang bersedia membayar lebih. Pendapatannya pun merosot drastis sejak awal tahun 2024.

"Dulu bisa dapat Rp 1,3 juta sampai Rp 1,5 juta per minggu. Sekarang Rp 800 ribu saja susah, kadang cuma Rp 500 ribu," keluhnya. Dengan pengeluaran harian sekitar Rp 50 ribu untuk bensin dan makan, Rizal harus berhemat sebisanya. Ia bahkan rela hanya sarapan gorengan dan menahan lapar di siang hari demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Meski aplikasi menyarankan untuk istirahat, Rizal mengaku tak bisa berhenti karena orderan yang sepi. Ia juga mengeluhkan potongan aplikasi yang semakin tidak menentu, bahkan mencapai 27 persen untuk pengantaran paket. Rizal berharap pemerintah turun tangan untuk mengawasi praktik-praktik yang merugikan pengemudi.

Senada dengan Rizal, Reza, seorang kurir paket dan makanan, juga merasakan penurunan pendapatan sejak bergabung menjadi mitra pengemudi pada tahun 2020. "Awalnya enak, jarak 1 sampai 4 kilometer bisa dapat Rp 9.600," kenangnya. Kini, tarif tersebut turun menjadi Rp 8.000 untuk pengantaran makanan dan Rp 6.400 untuk pengantaran dari area hub. Ia menyayangkan penurunan ini terjadi di tengah kenaikan inflasi dan harga kebutuhan pokok. Beban kerja Reza juga bertambah dengan adanya layanan antar cepat yang mengharuskannya membawa hingga empat paket sekaligus dalam sekali jalan. Hal ini membuat pelanggan sering protes karena pesanan mereka terlambat sampai.

Reza harus bekerja 12 jam atau lebih untuk mendapatkan penghasilan Rp 200-250 ribu per hari. Padahal, minimal ia harus mengeluarkan Rp 70-100 ribu sehari untuk operasional. Dengan kondisi seperti ini, Reza kesulitan untuk mencapai penghasilan bulanan Rp 3 juta. Ia juga harus mempertimbangkan cuaca karena alat kerjanya berbasis elektronik dan internet tanpa asuransi. Reza berharap adanya keadilan dari aplikator dan dukungan dari pemerintah, termasuk jaminan sosial yang tidak sepenuhnya dibebankan kepada pengemudi.

Iqbal, seorang mantan jurnalis, juga merasakan pahitnya menjadi pengemudi ojol. Setelah terkena PHK pada Oktober 2023, ia beralih menjadi pengemudi ojol untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Namun, pendapatan yang ia peroleh jauh berbeda dibandingkan saat ia hanya menjadikan ojol sebagai pekerjaan sampingan. "Dulu bisa Rp 200-300 ribu per hari, sekarang Rp 100 ribu saja sudah susah payah," ujarnya. Iqbal biasa mulai bekerja setelah mengantar istrinya dan pulang larut malam jika orderan sepi. Ia juga mengeluhkan tarif yang terlalu murah dan potongan aplikasi yang membebani.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, mengatakan bahwa kondisi pekerja platform seperti pengemudi ojol semakin tertindas di bawah status mitra yang diatur oleh perusahaan platform. Menurutnya, para pengemudi kini hanya bisa mengantongi Rp 50-100 ribu per hari, jauh di bawah standar upah minimum. Lily juga menyoroti potongan aplikator yang tidak transparan, yang dalam beberapa kasus mencapai 70 persen dari tarif yang dibayarkan pelanggan. Waktu kerja pun jauh dari layak, dengan para pengemudi harus bekerja selama 12 hingga 16 jam sehari tanpa hari libur.

Pakar hukum ketenagakerjaan dan perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, menilai sistem kerja ojol saat ini sangat dekat dengan eksploitatif. Ia menyoroti potongan pendapatan yang besar serta skema langganan program yang justru mengharuskan pengemudi membayar untuk peluang kerja lebih baik. Nabiyla menegaskan bahwa sistem ojol yang sekarang berlaku belum adil karena tidak ada kesetaraan antara mitra dan perusahaan. Ia juga memperingatkan soal dampak jangka panjang dari model kerja ini jika tidak ada regulasi yang jelas dan berpihak pada pengemudi. Nabiyla menekankan bahwa regulasi harus dibuat oleh negara, bukan oleh perusahaan itu sendiri, agar tercipta keadilan dan kesejahteraan bagi para pengemudi ojol.