Adaptasi Bahasa: Kunci Sukses Perawat Indonesia dalam Merawat Lansia di Jepang
Bahasa seringkali menjadi penghalang utama bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Jepang, terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai perawat lansia atau kaigo. Kompleksitas tidak hanya terletak pada bahasa Jepang standar, tetapi juga pada dialek lokal yang digunakan oleh para lansia.
Agsia Inas Julietta, seorang perawat lansia berusia 25 tahun yang bekerja di Prefektur Nara, mengakui bahwa kendala bahasa masih menjadi tantangan sehari-harinya, meskipun ia telah bekerja di sana selama lebih dari satu tahun. Ia mengungkapkan bahwa kesulitan terbesar muncul saat berkomunikasi dengan staf yang lebih tua, yang cenderung menggunakan dialek daerah mereka.
"Sampai sekarang, saya masih kesulitan memahami bahasa yang digunakan oleh staf yang lebih tua. Kalau dengan yang lebih muda, biasanya masih bisa nyambung," ujar Agsia. Kesulitan ini terutama disebabkan oleh penggunaan kansai-ben, dialek khas wilayah Kansai yang meliputi Prefektur Shiga, Kyoto, Hyogo, Osaka, Nara, Mie, dan Wakayama. Para lansia di wilayah ini seringkali menggunakan kansai-ben dalam percakapan sehari-hari mereka.
Meski menghadapi tantangan bahasa, Agsia merasa bersyukur atas penerimaan dan pengertian yang ditunjukkan oleh staf dan penghuni panti disabilitas tempat ia bekerja. Mereka memahami bahwa ia adalah tenaga kerja asing dan berusaha untuk memaklumi perbedaan yang ada. "Mereka paham kalau kita gaijin, maksudnya orang asing. Jadi, mereka sangat memaklumi," jelasnya.
Untuk mengatasi kendala bahasa, Agsia secara aktif berusaha mempelajari kosakata baru saat berinteraksi dengan para lansia. Ia menyadari bahwa komunikasi, meskipun tidak selalu lancar, merupakan kunci untuk membangun hubungan yang dekat dengan mereka. "Saya berusaha untuk terus berkomunikasi dengan mereka, meskipun kadang-kadang tidak nyambung," kata Agsia.
Persyaratan untuk bekerja sebagai kaigo di Jepang dengan visa Tokutei Ginou atau Specified Skilled Worker (SSW) mencakup kemampuan berbahasa Jepang setara dengan level JLPT N4. Sebelum berangkat ke Jepang, para perawat lansia umumnya diwajibkan mengikuti pelatihan bahasa Jepang selama enam bulan di Indonesia. Setelah tiba di Jepang, mereka juga harus mengikuti pelatihan keterampilan selama enam bulan untuk memenuhi syarat sebagai perawat yang kompeten.
Upaya adaptasi bahasa yang dilakukan oleh Agsia dan PMI lainnya menunjukkan komitmen mereka untuk memberikan pelayanan terbaik kepada para lansia di Jepang. Meskipun dialek lokal menjadi tantangan tersendiri, semangat untuk belajar dan berinteraksi menjadi kunci keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas mulia ini.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait dengan adaptasi bahasa dan profesi perawat lansia di Jepang:
- Tantangan Bahasa: Dialek lokal, khususnya kansai-ben, menjadi kendala bagi PMI.
- Penerimaan dan Pengertian: Staf dan penghuni panti memahami perbedaan budaya dan bahasa PMI.
- Upaya Adaptasi: PMI aktif mempelajari kosakata baru dan berusaha berkomunikasi.
- Persyaratan Kerja: Kemampuan bahasa Jepang level JLPT N4 dan pelatihan keterampilan.
- Visa Tokutei Ginou (SSW): Jalur legal untuk bekerja sebagai perawat lansia di Jepang.
Adaptasi bahasa dan budaya menjadi faktor krusial bagi kesuksesan PMI dalam memberikan pelayanan berkualitas di sektor perawatan lansia di Jepang.