Indeks Toleransi Kota 2024: Parepare Menduduki Peringkat Terbawah
SETARA Institute baru-baru ini merilis hasil Indeks Kota Toleran (IKT) 2024, yang menempatkan Kota Parepare di Sulawesi Selatan sebagai kota dengan tingkat toleransi terendah di antara kota-kota yang dinilai. Pengumuman ini disampaikan dalam sebuah acara yang berlangsung di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pada hari Selasa, 27 Mei 2025.
Parepare memperoleh skor 3,945, menjadikannya yang terendah dalam daftar. Diikuti oleh Kota Cilegon yang menempati posisi kedua dari bawah dengan skor 3,994. Indeks ini memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi toleransi di berbagai kota di Indonesia, berdasarkan sejumlah indikator yang telah ditetapkan.
Berikut adalah daftar 10 kota dengan skor terendah dalam Indeks Kota Toleran 2024:
- Pagar Alam: 4,381
- Sabang: 4,377
- Ternate: 4,370
- Makassar: 4,363
- Bandar Lampung: 4,357
- Pekanbaru: 4,320
- Banda Aceh: 4,202
- Lhokseumawe: 4,140
- Cilegon: 3,994
- Parepare: 3,945
Menurut SETARA Institute, rendahnya skor suatu kota dalam IKT tidak selalu disebabkan oleh adanya insiden intoleransi yang mencolok. Faktor utama yang memengaruhi adalah kurangnya fokus dan inovasi dalam upaya memajukan toleransi di kota tersebut. Sementara kota-kota lain aktif berupaya meningkatkan toleransi melalui berbagai program dan inisiatif, kota-kota dengan skor rendah cenderung tertinggal.
SETARA Institute mencontohkan Kota Pagar Alam dan Sabang. Meskipun kedua kota ini tidak mencatatkan kebijakan diskriminatif maupun peristiwa intoleran, ekosistem toleransi di kedua kota tersebut belum sepenuhnya terbentuk. Hal ini mencakup visi toleransi dalam pembangunan, kebijakan yang mendukung toleransi, serta partisipasi aktif dari pemerintah dan masyarakat.
Kepemimpinan politik dan birokrasi juga memainkan peran penting dalam memajukan toleransi. Kota-kota yang menunjukkan kinerja nyata dan kolaboratif dalam hal ini cenderung memiliki skor yang lebih tinggi dalam IKT. Selain itu, SETARA Institute menyoroti beberapa kota, seperti Cilegon, Banda Aceh, Pekanbaru, dan Lhokseumawe, yang secara konsisten berada di peringkat bawah dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun kondisi toleransi di kota-kota ini telah menjadi perhatian publik, belum ada inovasi atau terobosan signifikan yang dilakukan untuk memperbaikinya.
Minimnya inovasi tersebut dapat berupa kebijakan, program, atau ruang-ruang pertemuan lintas agama, yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan toleransi antar kelompok masyarakat.