Unjuk Rasa HMI di Maluku Utara Berujung Gesekan: Tuntutan Pembebasan Warga Adat dan Penutupan Tambang Menggema
Aksi unjuk rasa yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ternate di depan Markas Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara, Selasa (27/05/2025), diwarnai kericuhan. Aksi ini merupakan bentuk protes atas penangkapan sebelas warga adat Maba Sangaji. Massa aksi terlibat saling dorong dengan aparat kepolisian yang berjaga di gerbang masuk Polda Maluku Utara. Insiden ini diduga dipicu oleh adu argumentasi yang terjadi antara mahasiswa dan polisi, sehingga memicu eskalasi ketegangan di antara kedua belah pihak.
Kericuhan berhasil diredam setelah pihak kepolisian meminta massa aksi untuk tenang dan tidak terprovokasi. Setelah situasi mereda, massa aksi melanjutkan demonstrasi dengan menyampaikan orasi dan melakukan aksi simbolis berupa pembakaran ban bekas. Dalam tuntutannya, HMI Cabang Ternate mendesak Polda Maluku Utara untuk segera membebaskan sebelas warga adat Maba Sangaji tanpa syarat. Selain itu, mereka juga menuntut pencabutan izin operasi salah satu perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Halmahera Timur, menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan aktivis, serta mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halmahera Timur untuk segera mengesahkan peraturan daerah (perda) tentang hak-hak masyarakat adat.
Koordinator aksi, Yusril Buang, mengungkapkan bahwa HMI Cabang Ternate merasa keberatan atas penetapan status tersangka terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji oleh Polda Maluku Utara. Para warga adat tersebut dijerat dengan berbagai pasal berlapis, termasuk Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api, senjata tajam, dan bahan peledak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), serta pasal tentang pengancaman dan pemerasan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yusril menilai bahwa penerapan pasal-pasal tersebut tidak sesuai dengan konteks peristiwa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Yusril juga menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penetapan tersangka terhadap sebelas warga adat tersebut. Ia menjelaskan bahwa kepemilikan senjata tajam merupakan hal yang lazim bagi masyarakat adat yang hidup di wilayah tersebut. Menurutnya, penggunaan senjata tajam tidak dapat dipidanakan apabila digunakan untuk keperluan berkebun, bertani, keperluan rumah tangga, atau sebagai bagian dari perlengkapan adat. Yusril menyoroti tingginya tingkat kerawanan di hutan Halmahera Timur, di mana warga seringkali harus menempuh perjalanan hingga 80 kilometer untuk mencapai ladang mereka. Ia juga menyinggung kasus-kasus pembunuhan yang pernah terjadi terhadap warga di wilayah Gotowasi dan Halmahera Tengah. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa wajar jika warga membawa alat tajam seperti tombak dan parang sebagai bentuk perlindungan diri.
Yusril menekankan pentingnya bagi Polda Maluku Utara untuk lebih kooperatif dan kontekstual dalam mengambil keputusan terkait kasus ini. Ia juga menyoroti tindakan warga yang menghentikan aktivitas perusahaan tambang, yang menurutnya merupakan tindakan wajar karena perusahaan tersebut beroperasi di atas lahan milik warga. Yusril mengklaim bahwa terdapat sekitar 700 hektar lahan warga yang digunakan untuk aktivitas pertambangan, di mana 400 hektar merupakan milik warga adat Maba Sangaji dan 300 hektar lainnya milik warga Wayamli.
Sementara itu, Kepala Seksi Urusan Kemitraan Subdirektorat Penerangan Masyarakat Bidang Hubungan Masyarakat Polda Maluku Utara, Inspektur Polisi Dua Zulkifli Kodja, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan audiensi dengan massa aksi dan menjelaskan bahwa penetapan tersangka telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia menegaskan bahwa penyidik Polda Maluku Utara telah mengantongi dua alat bukti yang cukup sebelum menetapkan status tersangka terhadap sebelas orang tersebut.
Setelah menyampaikan aspirasinya di Polda Maluku Utara, massa aksi kemudian membubarkan diri dan melanjutkan aksinya di Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan di kediaman Gubernur Maluku Utara. Di kedua lokasi tersebut, massa aksi kembali menyampaikan tuntutan mereka dengan melakukan aksi pembakaran ban bekas. Aksi massa HMI ini mendapatkan pengawalan ketat dari personel Kepolisian Resor (Polres) Ternate dan berlangsung dengan kondusif. Setelah menyampaikan aspirasinya, massa aksi membubarkan diri dengan tertib.