Polemik Gelar Pahlawan Soeharto, Puan Maharani Serahkan Keputusan ke Dewan Gelar
Polemik Gelar Pahlawan Soeharto, Puan Maharani Serahkan Keputusan ke Dewan Gelar
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Puan Maharani, menanggapi polemik terkait usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Puan menegaskan bahwa proses pengajuan gelar tersebut harus melalui kajian mendalam oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
"Setiap usulan gelar, tentunya ada mekanisme dan tahapan yang harus dilalui. Dewan Gelar memiliki wewenang untuk mengkaji secara komprehensif, menilai kelayakan setiap tokoh yang diusulkan," ujar Puan kepada awak media di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa (27/5/2025).
Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini menekankan pentingnya menyerahkan sepenuhnya proses penilaian kepada Dewan Gelar. Ia berharap, dewan tersebut dapat menjalankan tugasnya secara objektif dan transparan, berlandaskan pada fakta sejarah dan kriteria yang telah ditetapkan.
"Biarkan Dewan Gelar yang bekerja secara independen. Mereka akan meneliti, menganalisis, dan memberikan rekomendasi berdasarkan data dan informasi yang akurat," imbuhnya.
Pernyataan Puan Maharani ini muncul di tengah gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat, khususnya aktivis 1998, terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ratusan aktivis menggelar aksi unjuk rasa sebagai bentuk protes terhadap usulan tersebut.
Jimmy Fajar Jimbong, seorang aktivis '98 dari ISTN Jakarta, menyatakan keprihatinannya atas usulan tersebut. Ia menyoroti sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi selama masa pemerintahan Soeharto, seperti kasus penembakan misterius (petrus), penculikan aktivis, kasus tanah, serta kasus pembunuhan Marsinah dan hilangnya Widji Tukul. Jimmy juga menyinggung dampak pembangunan Waduk Kedung Ombo yang menyebabkan banyak warga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.
"Terlalu banyak korban jiwa dan ketidakadilan yang terjadi di masa lalu. Bagaimana mungkin seorang tokoh yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan diusulkan menjadi pahlawan nasional?" tegas Jimmy.
Senada dengan Jimmy, aktivis '98 lainnya, Mustar Bona Ventura, menilai bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bertentangan dengan semangat reformasi 1998. Ia berpendapat bahwa usulan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.
"Kami menolak keras wacana ini. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan melukai hati para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu," tandas Mustar.
Dengan adanya penolakan yang kuat dari masyarakat, Puan Maharani berharap Dewan Gelar dapat mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk aspirasi publik, dalam mengambil keputusan. Ia berharap, keputusan yang diambil nantinya dapat diterima oleh semua pihak dan tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Berikut adalah poin-poin yang disoroti oleh para aktivis:
- Kasus Penembakan Misterius (Petrus)
- Penculikan Aktivis 1998
- Kasus Sengketa Tanah
- Kasus Pembunuhan Marsinah
- Penghilangan Paksa Widji Tukul
- Dampak Pembangunan Waduk Kedung Ombo
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan memiliki tugas berat untuk menimbang berbagai argumentasi pro dan kontra sebelum memberikan rekomendasi terkait usulan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Keputusan yang diambil akan berdampak besar bagi bangsa Indonesia dan menjadi catatan sejarah yang penting.