RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Tantangan dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Tantangan dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi tantangan kompleks, terutama dalam hal pemulihan aset hasil tindak pidana. Meskipun korupsi telah lama menjadi musuh bersama, upaya perampasan aset hasil korupsi masih belum efektif. Pelaku korupsi terus ditangkap, tetapi kekayaan yang mereka curi seringkali sulit dijangkau karena berlindung di balik celah hukum. Negara seolah kehilangan kekuatan untuk mengambil kembali apa yang telah dicuri dari rakyat.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset diharapkan menjadi solusi konkret di tengah keruwetan hukum pidana, penggelapan, dan pencucian uang. Namun, RUU ini justru mengalami penundaan yang berkepanjangan, seolah menunggu waktu yang tepat untuk dilupakan. Yang dibutuhkan bukanlah rumusan yang sempurna, tetapi kemauan politik yang kuat.
Konsep non-conviction based asset forfeiture bukanlah hal baru. Banyak negara, dari yang otoriter hingga demokratis, telah mengadopsinya untuk mengembalikan kerugian negara tanpa harus membuktikan kesalahan pelaku melalui proses pidana biasa. Dalam sistem ini, negara dapat menyita aset yang diyakini berasal dari kejahatan, meskipun pemilik aset tidak dipidana. Penyitaan aset dapat dilakukan jika ada bukti yang cukup bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan, termasuk korupsi, narkoba, atau pencucian uang.
Indonesia telah membicarakan hal ini sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, dan berlanjut sebagai agenda reformasi hukum era Jokowi. Pemerintahan Prabowo-Gibran kini menghadapi warisan yang sama: RUU Perampasan Aset masih belum masuk dalam prolegnas prioritas, apalagi dibahas secara serius. Dalam berbagai rapat kerja, DPR seringkali memberikan alasan klasik seperti perlunya sinkronisasi dengan KUHAP, kekhawatiran akan mengganggu prinsip praduga tak bersalah, dan potensi penyalahgunaan sebagai alat kekuasaan.
Padahal, logika hukum internasional sudah jelas: hak atas harta tidak dapat dijadikan tameng untuk melindungi hasil kejahatan. Prinsip keadilan menuntut agar negara tidak hanya menghukum pelaku korupsi, tetapi juga merampas harta yang mereka curi. Pertanyaan yang muncul adalah: siapa yang sebenarnya takut dengan RUU ini?
Koruptor tentu saja takut. Perampasan aset akan membuat kejahatan mereka tidak lagi menguntungkan. Tidak ada lagi yang bisa dinikmati setelah keluar dari penjara. Uang haram yang disembunyikan, harta atas nama kerabat, rekening bayangan, dan aset di luar negeri semuanya bisa dijangkau.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah jika ketakutan itu juga menyelimuti sebagian elite politik dan pejabat. Apakah ketakutan itu muncul karena RUU ini akan menjadi cermin bagi kekayaan yang tidak sepadan dengan gaji mereka? Bukan rahasia lagi bahwa kekayaan sejumlah penyelenggara negara terus meningkat tanpa penjelasan yang rasional. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) seringkali hanya menjadi formalitas, sementara aset-aset mewah, bisnis siluman, dan saham yang disamarkan melalui pihak ketiga terus tumbuh subur.
Dalam kondisi seperti ini, penolakan terhadap RUU ini menimbulkan kecurigaan. Hukum yang kuat seharusnya didukung oleh mereka yang bersih, bukan malah dihalangi oleh mereka yang merasa terancam. Survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) dan ICW menunjukkan bahwa publik secara konsisten menganggap pemberantasan korupsi sebagai isu penting, tetapi juga semakin skeptis terhadap komitmen negara.
RUU Perampasan Aset tidak hanya dibutuhkan sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai simbol keberpihakan negara pada publik. Semakin lama pembahasannya ditunda, semakin besar keraguan rakyat: apakah negara benar-benar ingin melawan korupsi, atau hanya menjadikannya sebagai kosmetik kampanye?
RUU ini tentu saja tidak luput dari kritik. Ada kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan. Namun, inilah tugas pembentuk undang-undang: merumuskan mekanisme kontrol, peran pengadilan, dan prinsip due process yang kuat. Membiarkan aset korupsi aman karena takut disalahgunakan adalah tindakan yang tidak logis. Ini seperti tidak menggunakan pisau karena takut melukai, meskipun dapur negara kehabisan bahan makanan karena dicuri.
Jalan Tengah
Dalam banyak kasus, pelaku utama korupsi berhasil menghilangkan jejak sebelum dibawa ke pengadilan. Mereka melarikan diri ke luar negeri, memanfaatkan celah hukum, atau menggunakan orang suruhan. Akibatnya, tuntutan pidana tidak dapat menjangkau harta yang telah disamarkan.
RUU Perampasan Aset menawarkan jalan tengah. Ia tidak harus menunggu vonis pidana, tetapi dapat berjalan paralel. Dengan pendekatan perdata, pembuktian dapat difokuskan pada asal-usul aset, bukan pada niat jahat pelaku.
Lebih dari itu, ini adalah bentuk revolusi dalam pendekatan pemberantasan korupsi. Negara tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memutus motif ekonomi dari kejahatan itu sendiri. RUU ini juga memperluas efek jera. Apa artinya hukuman lima tahun penjara jika setelah bebas, koruptor masih bisa hidup mewah dengan hasil curian yang disimpan rapat?
Sekarang, bola ada di tangan pemerintah dan DPR. Di awal pemerintahan Prabowo-Gibran, ada momentum untuk menunjukkan bahwa agenda reformasi hukum dan pemberantasan korupsi bukan hanya janji. Salah satu dari Asta Cita yang digaungkan pemerintah adalah mewujudkan sistem hukum yang adil dan tegas. RUU Perampasan Aset adalah ujian pertama: apakah pemerintah berani tegas terhadap aset hasil kejahatan?
RUU ini seharusnya tidak lagi dinegosiasikan secara politik. Ini bukan soal oposisi atau koalisi, tetapi soal keadilan. Negara tidak boleh tunduk pada ketakutan elite. Justru keberanian menegakkan keadilan akan menjadi fondasi legitimasi kekuasaan yang sejati.
RUU Perampasan Aset seharusnya menjadi inti dari agenda pemberantasan korupsi. Selama ini, kita sibuk mengadili pelaku, tetapi membiarkan hasil kejahatan tetap beredar. Ini seperti memberantas nyamuk tanpa mengeringkan kolam.
Negara tidak akan pernah bersih jika aset hasil korupsi masih aman di balik nama istri, anak, dan kroni politik. Rakyat akan terus kehilangan kepercayaan jika hukum hanya tajam untuk rakyat kecil, tetapi tumpul di hadapan kekayaan gelap.
Siapa yang takut dengan RUU Perampasan Aset? Jawabannya akan menentukan apakah kita benar-benar ingin memberantas korupsi, atau hanya berpura-pura saja.