Ayam Goreng Widuran Terindikasi Nonhalal, PBNU: Konsumen Dirugikan dan Berpotensi Dituntut
Kasus dugaan penggunaan bahan nonhalal pada restoran Ayam Goreng Widuran di Solo menuai kecaman dari berbagai pihak. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi, menyatakan keprihatinannya atas kejadian ini. Ia menyampaikan bahwa konsumen Muslim yang selama ini mengonsumsi hidangan di restoran tersebut, kemungkinan besar merasa menyesal dan tidak nyaman.
"Ini sangat menyedihkan, karena selama ini tidak ada informasi bahwa makanan tersebut nonhalal. Kasihan umat Muslim yang sudah sering makan di sana, pasti merasa sangat menyesal dan tidak nyaman," ujar Gus Fahrur.
Gus Fahrur menyoroti tindakan restoran Ayam Goreng Widuran yang dinilai tidak transparan kepada konsumen mengenai penggunaan bahan-bahan nonhalal. Padahal, ayam goreng Widuran telah dikenal luas sebagai salah satu ikon kuliner khas Solo.
"Restoran tersebut telah melakukan kebohongan terhadap masyarakat, karena tidak terus terang dengan menyebutkan status nonhalalnya. Padahal, ayam goreng itu sudah menjadi makanan khas daerah dan secara umum diyakini sebagai makanan halal," tegasnya.
Lebih lanjut, Gus Fahrur menyatakan bahwa restoran Ayam Goreng Widuran berpotensi dijerat hukum karena dianggap telah merugikan konsumen. Ia mendesak agar kasus ini diproses secara hukum agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.
"Tindakan ini sangat merugikan konsumen, dan bisa dituntut ke pengadilan karena melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam aturan tersebut, pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal dan tidak mencantumkannya dalam label dapat dijerat pidana lima tahun atau denda hingga Rp 2 miliar," jelasnya.
Senada dengan PBNU, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh, juga menyampaikan keprihatinannya. Ia mengatakan bahwa kasus ini dapat mencoreng reputasi Kota Solo, khususnya di sektor kuliner, jika tidak segera ditangani dengan tegas, baik melalui tindakan administratif maupun hukum.
"Jika tidak ada langkah cepat, hal ini bisa merusak citra Kota Solo yang dikenal religius dan inklusif. Kasus Widuran ini adalah contoh pelaku usaha yang tidak jujur dan berpotensi merusak reputasi Kota Solo," kata Ni'am.
Ni'am juga menambahkan bahwa kasus Ayam Widuran dapat berdampak negatif bagi pelaku usaha kuliner lain di Kota Solo, merusak kepercayaan publik, dan menurunkan jumlah wisatawan akibat kekhawatiran terhadap kehalalan makanan di Solo.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah daerah (Pemda) untuk segera mengambil tindakan tegas, baik secara administratif maupun hukum, guna mencegah dampak yang lebih buruk bagi Kota Solo. Ia juga menekankan pentingnya respons cepat dan tegas dari aparat pemerintah dalam menanggapi kasus ini.