Maraknya Pernikahan Dini di Lombok: Analisis Kesiapan Mental dan Psikologis Anak dalam Membangun Rumah Tangga
Kasus pernikahan anak di bawah umur kembali mencuat di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, memicu diskusi mendalam tentang kesiapan mental dan psikologis anak dalam menghadapi bahtera rumah tangga. Peristiwa ini menyoroti YL (15), seorang siswi SMP, dan RN (16), seorang remaja putus sekolah, yang melangsungkan pernikahan melalui tradisi merariq atau kawin lari. Praktik ini, meskipun merupakan bagian dari adat, menimbulkan pertanyaan tentang legalitas dan dampaknya pada masa depan kedua remaja tersebut.
Tradisi merariq yang memungkinkan pernikahan di bawah umur menjadi perhatian serius. Meskipun sempat dipisahkan oleh tokoh masyarakat setempat karena usia mereka yang belum mencukupi, kedua remaja tersebut kembali menikah dan bahkan sempat dibawa ke luar daerah. Desakan orang tua untuk mempertahankan pernikahan demi memenuhi tuntutan adat semakin memperumit situasi.
Pernikahan dini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga membawa konsekuensi psikologis yang mendalam bagi anak. Psikolog anak, Gloria Siagian M., menekankan pentingnya kematangan mental sebagai fondasi utama dalam membangun rumah tangga yang sehat. Menurutnya, terdapat beberapa indikator yang menunjukkan bahwa seorang anak belum siap untuk menikah:
- Ketergantungan dalam Berpikir: Anak yang belum siap menikah cenderung kesulitan mengambil keputusan secara mandiri dan masih bergantung pada orang tua. Pola pikir yang belum matang membuat mereka sulit menghadapi tantangan hidup berumah tangga.
- Kesulitan Menyelesaikan Masalah: Kematangan emosional sangat penting dalam menyelesaikan masalah. Anak yang belum siap menikah biasanya kesulitan mengatasi masalah sendiri karena kurangnya pengalaman dan perspektif yang luas.
- Ketidakmampuan Mengelola Konflik: Konflik adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan berumah tangga. Pasangan yang siap menikah mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Sebaliknya, anak yang belum siap menikah cenderung kesulitan mengelola konflik, yang dapat berujung pada keretakan hubungan.
- Gangguan Kesehatan Mental: Kesehatan mental yang stabil merupakan fondasi penting dalam membangun hubungan yang sehat. Anak dengan gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan berlebih mungkin kesulitan menjalin hubungan yang harmonis.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, terutama orang tua dan tokoh masyarakat, untuk mempertimbangkan kesiapan mental dan psikologis anak sebelum memutuskan untuk menikahkan mereka. Konsultasi dengan psikolog atau ahli kesehatan mental dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah dan memberikan dukungan yang dibutuhkan. Pernikahan yang didasari oleh kematangan dan kesiapan akan memberikan fondasi yang kuat bagi keluarga yang bahagia dan sejahtera.