Mitos dan Fakta Minyak Babi dalam Kuliner: Benarkah Bikin Gorengan Lebih Lezat?

html

Mitos dan Fakta Minyak Babi dalam Kuliner: Benarkah Bikin Gorengan Lebih Lezat?

Polemik seputar penggunaan minyak babi dalam dunia kuliner kembali mencuat setelah viralnya sebuah rumah makan yang menggunakan minyak tersebut untuk membuat kremesan ayam goreng. Hal ini memicu perdebatan mengenai pengaruh minyak babi terhadap rasa dan tekstur makanan, khususnya gorengan. Banyak yang beranggapan bahwa minyak babi dapat menghasilkan gorengan yang lebih garing dan gurih. Namun, benarkah demikian? Mari kita simak penjelasan dari para ahli kuliner.

Chef Stefu Santoso, seorang Executive Chef dengan pengalaman di berbagai restoran ternama, menjelaskan bahwa minyak babi memang telah lama digunakan dalam budaya kuliner, terutama masakan Tionghoa. Ia mengungkapkan bahwa fungsi utama minyak babi adalah untuk meningkatkan cita rasa gurih dan aroma pada masakan. Lemak babi memiliki karakteristik khas yang dapat memberikan sensasi rasa dan aroma yang lebih kuat.

Namun, Chef Stefu menekankan bahwa rasa gurih pada makanan tidak selalu berasal dari minyak babi. Penggunaan MSG (Monosodium Glutamat) juga dapat memberikan efek serupa. Oleh karena itu, sulit untuk membedakan secara pasti apakah rasa gurih pada suatu makanan berasal dari minyak babi atau bahan tambahan lainnya. Dari segi tampilan dan tekstur, juga sulit untuk membedakan gorengan yang menggunakan minyak babi dengan yang tidak.

Chef Stefu menambahkan bahwa kerenyahan kremesan tidak dipengaruhi oleh penggunaan minyak babi, melainkan oleh komposisi tepung dan air yang digunakan. Jenis tepung yang digunakan, seperti tepung beras, tepung sagu, atau tepung terigu, akan memberikan hasil yang berbeda. Proses menggoreng kremesan juga sangat penting. Minyak yang sangat panas diperlukan untuk menghasilkan kremesan yang renyah.

Sementara itu, Chef Eddrian Tjhia, seorang spesialis masakan Bangka, juga memberikan pandangannya mengenai penggunaan minyak babi. Ia sependapat bahwa minyak babi lebih berperan dalam memberikan aroma wangi pada masakan, bukan untuk menciptakan tekstur garing atau renyah. Aroma khas minyak babi dapat membuat masakan menjadi lebih menggugah selera.

Chef Eddrian mengenang masa kecilnya di Bangka, di mana ayahnya sering membuat minyak babi sendiri. Minyak tersebut kemudian digunakan untuk sarapan dengan nasi hangat dan kecap. Ia mengakui bahwa masakan yang dimasak dengan minyak babi sulit dibedakan secara visual maupun rasa. Namun, bagi orang yang terbiasa mengonsumsi makanan dengan minyak babi, aroma khasnya akan langsung tercium.

Terkait dengan status halal dan nonhalal, Chef Eddrian menekankan pentingnya kejujuran dari pihak tempat makan dalam memberikan informasi kepada pelanggan. Ia juga mengingatkan pelanggan untuk lebih berhati-hati dalam memilih tempat makan, terutama jika memiliki keyakinan tertentu terkait dengan makanan halal dan nonhalal. Di beberapa daerah, seperti Bangka Belitung, masyarakat sudah memahami bahwa restoran Tionghoa umumnya menggunakan bahan-bahan yang tidak halal, sehingga pelanggan muslim biasanya tidak datang ke tempat tersebut.

Sebagai kesimpulan, minyak babi memang dapat memberikan rasa gurih dan aroma wangi pada masakan, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan kelezatan dan kerenyahan gorengan. Pemilihan bahan baku, komposisi, dan teknik memasak juga memegang peranan penting. Selain itu, transparansi dari pihak tempat makan dan kesadaran dari pelanggan juga diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman terkait dengan status halal dan nonhalal.

Dengan demikian, klaim bahwa minyak babi otomatis membuat gorengan lebih garing dan gurih adalah sebuah penyederhanaan. Lebih bijak jika kita memahami kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi cita rasa sebuah hidangan.