Harapan di Tengah Ketidakpastian: Refleksi Optimisme Bangsa Indonesia Menuju 2025
Di tengah kompleksitas tantangan global, sebuah fenomena menarik muncul dari Indonesia: optimisme yang kuat terhadap masa depan. Survei Ipsos Global Predictions 2025 menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia, sekitar 90%, meyakini tahun depan akan lebih baik dari tahun ini. Temuan ini muncul di tengah berbagai isu global seperti konflik berkepanjangan, perubahan iklim yang semakin terasa, dan disrupsi teknologi yang memengaruhi lapangan pekerjaan.
Namun, optimisme ini hadir bersamaan dengan kekhawatiran. Survei yang sama mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia juga memperkirakan kenaikan harga yang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan pendapatan, peningkatan angka pengangguran, dan suku bunga yang lebih tinggi. Kondisi ini menciptakan paradoks: harapan besar di tengah tantangan ekonomi yang nyata. Masyarakat Indonesia seolah menggantungkan harapan pada diri sendiri, membuat resolusi pribadi untuk tahun 2025 dengan persentase tertinggi di dunia, yaitu 94%. Mereka bertekad untuk berubah, bertahan, dan berjuang, meski dihadapkan pada ketidakpastian.
Paradoks ini mencerminkan adanya disonansi antara harapan dan realitas. Masyarakat memiliki keyakinan akan masa depan yang lebih baik, tetapi tidak sepenuhnya yakin bahwa sistem yang ada mampu mewujudkannya. Keinginan untuk bangkit tidak diimbangi dengan perasaan didukung oleh negara. Optimisme ini lebih merupakan respons terhadap kerapuhan sistemik daripada kepercayaan pada struktur yang ada.
Di satu sisi, pemerintah terus menggaungkan narasi pembangunan, infrastruktur, hilirisasi, dan transformasi digital. Namun, di sisi lain, masyarakat masih merasakan dampak dari harga kebutuhan pokok yang tinggi, dominasi sektor pekerjaan informal, dan ketidakpastian ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, semangat menjadi satu-satunya hal yang dapat dikendalikan.
Namun, semangat saja tidak cukup. Harapan, seperti bahan bakar, dapat memberikan energi positif, tetapi juga dapat membakar jika tidak dikelola dengan baik. Jika energi ini tidak disalurkan dengan tepat, optimisme dapat berubah menjadi kekecewaan dan kemarahan. Negara, pasar, dan semua pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab untuk merespons keyakinan masyarakat dengan tindakan nyata.
Kesiapan yang dibutuhkan bukan hanya sebatas pembangunan infrastruktur atau pemberian insentif, tetapi juga kesiapan untuk mendengarkan dan memahami kebutuhan masyarakat. Perlu adanya perubahan cara berpikir dari pendekatan teknokratis ke pendekatan yang lebih humanis, dari sekadar mengejar angka menjadi membangun rasa percaya. Masyarakat seringkali tidak hanya membutuhkan solusi cepat, tetapi juga perasaan bahwa mereka dihargai dan diperhatikan.
Penting untuk mempertanyakan tujuan pembangunan: untuk siapa pembangunan itu dilakukan? Jika pembangunan hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat, harapan di akar rumput akan pupus. Bangsa ini tidak akan gagal karena kekurangan rencana, tetapi karena kehilangan resonansi dengan masyarakatnya.
Optimisme rakyat adalah aset yang berharga, tetapi juga rentan. Ia membutuhkan dukungan dan perlindungan dari sistem yang tidak hanya berfokus pada kinerja, tetapi juga pada kemanusiaan. Jika harapan terus dibiarkan berjalan tanpa perlindungan, ia akan hancur dan luka-luka yang ada akan semakin dalam.
Indonesia memiliki potensi besar, semangat, harapan, dan keberanian. Namun, semua itu adalah janji yang harus ditepati. Untuk mencapai kemajuan yang lebih besar, perlu adanya perbaikan tidak hanya pada jalur yang ditempuh, tetapi juga pada fondasi batin masyarakat.
Masyarakat telah melangkah maju, dan sekarang giliran sistem untuk menyusul. Bukan hanya dengan janji-janji baru, tetapi dengan kehadiran yang nyata. Jangan sampai harapan yang ada hanya menjadi puing-puing yang disesali di kemudian hari.