Pernikahan Anak di Lombok: Tokoh Adat Sasak Tegaskan Bukan Budaya Modern

Kasus pernikahan anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), memicu diskusi tentang tradisi dan modernitas di masyarakat Sasak. Pengerakse Agung Majelis Adat Sasak (MAS), Lalu Sajim Sastrawan, menanggapi viralnya pernikahan antara SMY (14), seorang siswi SMP, dan SR (17), seorang siswa SMK, yang telah menjalani prosesi nyongkolan, sebuah tradisi pernikahan adat Sasak.

Sajim menegaskan bahwa praktik merariq kodek, atau pernikahan dini, bukanlah bagian dari budaya masyarakat Sasak modern. Menurutnya, masyarakat Sasak telah mengalami perubahan pola pikir yang dipengaruhi oleh regulasi pemerintah, terutama Undang-Undang Perkawinan. Ia menekankan bahwa masyarakat Sasak sedang bertransformasi menuju masyarakat modern, yang tentu saja melibatkan perubahan dan penyesuaian adat istiadat.

"Kita menuju masyarakat Sasak yang modern, tentu untuk menuju ke sana ada perubahan-perubahan dan penyesuaian adat istiadat," kata Sajim.

Peran Pemerintah dalam Perubahan Adat

Sajim menyoroti peran penting pemerintah dalam mengatur perilaku sosial masyarakat, khususnya melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Regulasi ini, menurutnya, telah mengubah pola pikir masyarakat Sasak terkait pernikahan dan perceraian. Ia menambahkan bahwa hampir seluruh daerah di Indonesia kini memiliki peraturan daerah (perda) yang mengatur pernikahan dini, sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Sajim menjelaskan bahwa tradisi lama seperti kawin gantung atau kawin todong dulunya dilakukan dengan kesepakatan keluarga, namun tetap menunda kehidupan rumah tangga hingga usia yang dianggap cukup. Orang tua akan memelihara anak-anak mereka hingga dianggap pantas untuk membangun rumah tangga.

Syarat Minimal Perempuan Sasak Dahulu

Dahulu, terdapat syarat minimal bagi perempuan Sasak sebelum menikah, seperti kemampuan menanam padi (nowong), mencuci (mopok), memasak (meriap), dan menenun (nyesek). Sajim menilai bahwa kasus pernikahan dini seperti yang dialami SMY dan SR adalah insiden atau kasus kasuistik, bukan praktik umum di masyarakat Sasak saat ini.

"Itu ukuran dulu, sehingga dalam konteks itu, kalau ada persoalan semacam kejadian itu, ini kan tidak semua. Ini kan kasus, artinya bukan begini caranya orang Sasak itu menikah," ujarnya.

Proses Pendekatan Adat Suku Sasak Sebelum Pernikahan

Sajim juga menyoroti bagaimana perilaku sosial masyarakat Sasak modern telah menyimpang dari nilai-nilai adat yang dulu dijunjung tinggi. Dalam tradisi masyarakat Lombok, perempuan biasanya menjalani proses perkenalan atau penjajakan pernikahan melalui kunjungan laki-laki ke rumah yang dikenal dengan istilah midang (ngapel).

"Midang ini juga siapa saja yang boleh datang. Tapi anak gadis ini pasti ditunggu oleh ibunya atau tidak neneknya. Kira-kira dengan jarak 10 meter. Nanti kalau ada lelaki lain yang mau datang lagi, itu akan diberikan kode dengan ngenden sama yang jaga itu. Kemudian si gadis ini akan menyodorkan tempat rokok atau penginang pada laki-laki ini," jelas Sajim.

Dahulu, persaingan antara laki-laki dalam memperebutkan hati seorang gadis tidak memicu konflik. Laki-laki yang sedang bertamu akan keluar dengan sopan dan mempersilakan tamu lain masuk.

"Maka yang lain itu masuk lagi dalam batas waktu tertentu, atau sampai jam 10 malam. Karena ini banyak saingannya, tentu masing-masing laki-laki ini akan merebut dan perempuan ini akan memilih. Pilihan ini lah akan mengikat janji, 'kalau kamu serius sama saya apakah kamu mau menikah dengan saya. Kalau serius, maka saya akan bawa kamu sekarang'," imbuhnya.

Dalam tradisi kawin culik, calon mempelai pria umumnya mengajak saudara perempuannya saat menjemput kekasihnya untuk menghindari fitnah dan memastikan proses berlangsung karena sama-sama mau.

Dukungan Pelaporan Pernikahan Dini ke Polisi

Sajim mendukung langkah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang melaporkan kasus pernikahan SMY dan SR ke Polres Lombok Tengah. Dalam tradisi masyarakat Sasak, jika seorang anak perempuan dibawa pergi selama lebih dari satu hari, orang tua biasanya enggan menerimanya kembali karena kekhawatiran akan munculnya fitnah atau aib bagi keluarga.

"Ini kan orang tua dan perangkat sudah melakukan tugasnya. Untuk melerai pernikahan ini, tapi mereka lagi bersama-sama di suatu daerah. Nah kalau sudah lewat satu malam, ini kan kalau dipulangkan akan menimbulkan fitnah atau aib. Sehingga orang tua perempuan tidak menerima anaknya kembali," ungkap Sajim.

Sajim menilai bahwa siapa pun yang terlibat dan memfasilitasi pernikahan anak harus bertanggung jawab dan diberi sanksi sesuai hukum. Ia menyambut baik pelaporan tersebut sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat bahwa menikahkan anak di bawah umur dilarang oleh Undang-Undang, serta sebagai bahan introspeksi bagi para orang tua untuk lebih ketat mengawasi pergaulan anak-anak mereka.