Industri Perhotelan Jawa Barat Terpuruk Akibat Kebijakan Efisiensi Anggaran Pemerintah, Gelombang PHK Mengintai

Kondisi memprihatinkan tengah melanda industri perhotelan di Jawa Barat. Imbas dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, tingkat hunian hotel anjlok drastis, memicu kekhawatiran akan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang membayangi ribuan pekerja.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang menekankan penghematan anggaran, menjadi biang keladi kemerosotan ini. Pembatasan perjalanan dinas pemerintah secara signifikan mengurangi tingkat okupansi hotel, terutama hotel bintang 3 hingga 5 yang selama ini mengandalkan sektor pemerintahan sebagai penyumbang utama pendapatan.

Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad, mengungkapkan bahwa rata-rata tingkat hunian hotel di Jawa Barat hanya mencapai 42 persen dari Januari hingga Mei 2025. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana tingkat hunian stabil di kisaran 80-82 persen. Penurunan ini mencerminkan dampak langsung dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.

"Penurunan ini sangat signifikan dan mengkhawatirkan. Kebijakan pembatasan perjalanan dinas pemerintah berdampak besar pada industri perhotelan," ujar Dodi.

Lebih lanjut, Dodi menjelaskan bahwa sektor pemerintahan biasanya menyumbang hampir 40 persen dari total okupansi hotel bintang 3 hingga 5. Dengan adanya pembatasan perjalanan dinas, hotel-hotel tersebut kehilangan sumber pendapatan utama.

Namun, penurunan tidak hanya berasal dari sektor pemerintahan. Perusahaan swasta dan masyarakat umum juga mulai memangkas anggaran perjalanan mereka. Peningkatan jumlah PHK di berbagai sektor juga turut memperburuk situasi, memaksa masyarakat untuk mengesampingkan liburan dan fokus pada kebutuhan pokok.

"Kondisi ekonomi yang sulit membuat orang lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang. Liburan menjadi prioritas terakhir," kata Dodi.

Dampak yang Dirasakan

Beberapa hotel di Bogor dan Depok bahkan terpaksa menghentikan operasional mereka akibat sepinya pengunjung. Hotel-hotel lain mengambil langkah-langkah seperti memangkas jam kerja dan tidak memperpanjang kontrak pegawai harian untuk mengurangi biaya operasional.

"Beberapa hotel sudah mengambil langkah-langkah drastis untuk bertahan. Ini adalah situasi yang sangat sulit bagi industri perhotelan," ungkap Dodi.

Dampak dari situasi ini langsung dirasakan oleh para karyawan hotel. Banyak yang terpaksa menerima pemotongan gaji hingga 50 persen demi mempertahankan pekerjaan mereka.

"Para karyawan sangat merasakan dampaknya. Mereka terpaksa menerima pemotongan gaji demi tetap bisa bekerja," jelas Dodi.

Harapan dan Upaya PHRI

PHRI Jawa Barat berharap pemerintah dapat melonggarkan kebijakan efisiensi anggaran, terutama terkait kegiatan pemerintahan, agar denyut ekonomi lokal dapat kembali bergairah.

"Kami berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan memberikan kelonggaran agar industri perhotelan dapat kembali pulih," tutur Dodi.

PHRI juga terus berupaya mencari solusi lain untuk membantu industri perhotelan bertahan di tengah situasi sulit ini, termasuk melakukan promosi pariwisata dan mencari alternatif sumber pendapatan.

Ancaman PHK di Depan Mata

Jika kondisi ini terus berlanjut, Dodi khawatir akan terjadi gelombang PHK yang lebih besar di industri perhotelan Jawa Barat. Ia memperkirakan, jika tidak ada perubahan kebijakan dari pemerintah, PHK dapat mencapai 10-30 persen dari total karyawan hotel.

"Kami sangat khawatir akan terjadi PHK massal jika situasi ini terus berlanjut. Dampaknya akan sangat besar bagi para pekerja dan keluarga mereka," pungkas Dodi.

Situasi serupa juga dirasakan oleh industri perhotelan di daerah lain di Indonesia. Meskipun belum ada laporan PHK massal secara nasional, tanda-tanda peringatan sudah mulai terlihat. Industri perhotelan di seluruh Indonesia tengah berjuang untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung.