Pernikahan Dini di Lombok Picu Kekhawatiran, Psikolog Soroti Dampak Depresi dan Krisis Identitas
Fenomena pernikahan anak kembali mencuat di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), setelah video prosesi pernikahan seorang siswi SMP berusia 15 tahun dengan seorang remaja putus sekolah berusia 16 tahun viral di media sosial. Pernikahan yang berlangsung pada tanggal 5 Mei 2025 tersebut, meski tidak tercatat secara hukum negara, menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat.
Kisah bermula ketika YL, sang siswi SMP, dan RN, pasangannya, melangsungkan pernikahan adat (merariq). Namun, pernikahan tersebut sempat dipisahkan oleh kepala dusun setempat karena keduanya masih tergolong anak di bawah umur. Selang tiga minggu kemudian, keduanya kembali menikah dengan cara memariq atau kawin lari, sebuah tradisi yang lazim di suku Sasak Lombok. RN membawa YL ke Sumbawa selama dua hari sebelum akhirnya membawanya kembali ke Lombok. Meskipun orang tua YL awalnya diberitahu oleh kepala dusun, mereka akhirnya merelakan pernikahan tersebut.
Menanggapi fenomena ini, Gloria Siagian M, seorang psikolog anak, mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait dampak psikologis yang mungkin timbul akibat pernikahan dini. Menurutnya, pernikahan di usia muda berpotensi menyebabkan depresi dan krisis identitas pada anak.
Dampak Psikologis Pernikahan Dini:
- Kehilangan Masa Pertumbuhan: Pernikahan dini merampas masa bermain dan eksplorasi diri yang sangat penting bagi perkembangan anak. Anak-anak yang seharusnya fokus pada pendidikan dan pengembangan diri, terpaksa harus menghadapi tanggung jawab pernikahan yang berat.
- Krisis Identitas: Ketika masa eksplorasi diri terenggut, anak-anak yang menikah dini berpotensi mengalami kebingungan identitas. Mereka mungkin mempertanyakan siapa diri mereka sebenarnya dan apa yang mereka inginkan dalam hidup.
- Ketidaksiapan Menghadapi Tantangan Pernikahan: Pasangan yang menikah dini umumnya belum memiliki pengalaman dan kematangan emosional yang cukup untuk menghadapi tantangan pernikahan, seperti masalah keuangan, perbedaan pendapat, dan tanggung jawab mengasuh anak.
- Potensi Konflik dan Perceraian: Kurangnya kematangan emosional dan ketidaksiapan menghadapi masalah dapat memicu konflik dalam rumah tangga. Ego yang tinggi dan ketidakmampuan mengendalikan emosi dapat meningkatkan risiko pertengkaran dan bahkan perceraian.
- Gangguan Mental: Tekanan dan stres yang timbul akibat pernikahan dini dapat memengaruhi kondisi mental pasangan. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat menyebabkan gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.
Gloria Siagian menekankan pentingnya memberikan pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat mengenai dampak negatif pernikahan dini. Ia juga mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk meningkatkan upaya pencegahan pernikahan anak dan memberikan dukungan kepada anak-anak yang berisiko atau telah menjadi korban pernikahan dini.
Pernikahan anak bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang kompleks. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk melindungi hak-hak anak dan memastikan mereka memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.