Redupnya Diplomasi Informal: Hubungan India-Pakistan Menegang di Tengah Minimnya Dialog
Hubungan antara India dan Pakistan kembali menegang, diperparah dengan minimnya dialog informal yang selama ini menjadi jembatan penting antara kedua negara. Selama beberapa dekade, diplomasi jalur kedua, yang melibatkan organisasi non-pemerintah (LSM), kelompok masyarakat sipil, dan aktivis perdamaian, telah memainkan peran krusial dalam meredakan ketegangan dan mencari solusi potensial untuk berbagai krisis.
Proses diplomasi ini, yang seringkali didukung oleh pendanaan dari donor Barat, memungkinkan pertemuan informal di lokasi netral di seluruh dunia. Pertemuan ini memberikan platform bagi perspektif yang berbeda untuk dipertemukan dan pandangan untuk dipertukarkan. Pemerintah dari kedua belah pihak sering kali mempertimbangkan masukan yang dihasilkan dari dialog-dialog ini dalam merumuskan kebijakan. Namun, efektivitas diplomasi jalur kedua saat ini menghadapi tantangan serius.
Kendala Pendanaan dan Penolakan Dialog
Salah satu kendala utama adalah masalah pendanaan. Selain itu, pemerintah India dan Pakistan semakin enggan untuk terlibat dalam dialog semacam itu. Situasi ini menjadi perhatian serius, terutama setelah kedua negara berada di ambang konflik pada April lalu. Pada saat itu, tokoh-tokoh kunci dari diplomasi jalur kedua mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak untuk meredakan ketegangan.
"Kami percaya bahwa memicu histeria perang dan membiarkan ketegangan meningkat menjadi konflik militer hanya akan membawa kehancuran bagi kedua negara dan masyarakat yang menginginkan perdamaian," bunyi pernyataan tersebut. Pernyataan itu dikeluarkan setelah terjadi serangan dan sebelum India melancarkan serangan lintas batas terhadap apa yang disebutnya sebagai "infrastruktur teror" di Pakistan. Ketegangan akhirnya mereda setelah kedua belah pihak menyetujui gencatan senjata.
Sushobha Barve, salah satu pendiri dan sekretaris eksekutif Centre for Dialogue and Reconciliation (CDU), sebuah lembaga think tank yang berbasis di New Delhi yang fokus pada resolusi konflik, mengatakan bahwa diplomasi jalur kedua saat ini mengalami kemunduran. "Ketika pemerintah tidak terlibat dalam dialog formal apa pun, diplomasi jalur kedua kehilangan relevansinya - dan dengan itu, pendanaannya juga ikut terhenti," kata Barve.
Peran Masyarakat Sipil dalam Membangun Jembatan
Imtiaz Alam, seorang jurnalis Pakistan dan salah satu pendiri LSM South Asia Free Media Association (SAFMA), menjelaskan bahwa diplomasi jalur kedua memungkinkan dialog di luar saluran formal seperti komisi tinggi atau lembaga intelijen. SAFMA, bersama dengan organisasi lain seperti South Asia Media Association (SAMA), Pakistan-India People's Forum for Peace and Democracy (PIPFPD), Pakistan-India Parliamentary Forum (PIPF), Chaophraya Dialogue, Neemrana Dialogue, Women's Peace Initiatives, dan Southasia Peace and Action Network (Sapan), telah memainkan peran penting dalam memfasilitasi dialog antara pejabat kedua negara.
Organisasi-organisasi ini telah berhasil membangun kesepakatan antara India dan Pakistan, terutama terkait dengan Kashmir, wilayah yang diklaim sepenuhnya oleh kedua negara tetapi hanya dikuasai sebagian. Antara tahun 2005 dan 2015, CDU memimpin serangkaian dialog masyarakat sipil tentang Kashmir, yang memungkinkan kontak antar warga dan mendorong perdagangan lintas batas. Bahkan, kedua mantan Perdana Menteri, Manmohan Singh dari India dan Pervez Musharraf dari Pakistan, sempat sepakat untuk menciptakan "perbatasan yang lebih lunak".
Barve, yang telah bekerja selama hampir 40 tahun dalam bidang dialog dan rekonsiliasi di wilayah-wilayah yang dilanda kekerasan di India dan Asia Selatan, mengatakan bahwa pertemuan dengan para pemangku kepentingan tersebut menarik perhatian hingga ke tingkat tertinggi pemerintahan. "Bukan hanya kalangan birokrasi yang memperhatikan - bahkan perdana menteri sendiri beberapa kali menerima kami untuk mendengar langsung realita di lapangan (di Kashmir)," katanya.
Erosi Diplomasi Jalur Kedua
Upaya diplomasi jalur kedua antara India dan Pakistan mulai terkikis setelah serangan teror Mumbai pada 2008, yang dilakukan oleh kelompok militan di Pakistan. Pukulan berikutnya datang pada 2019 ketika New Delhi mencabut status semi-otonom Jammu dan Kashmir, yang memicu kemarahan besar masyarakat setempat. Pada 2015, organisasi pro-demokrasi Jerman, Friedrich Ebert Stiftung (FES), sempat fokus pada "penguatan kerja sama regional dan perdamaian di kawasan Asia Selatan", dan menginisiasi dialog-dialog pembangunan kepercayaan antara para pemangku kepentingan dari India dan Pakistan. Namun, fokus FES di kawasan Asia Selatan telah bergeser.
Direktur FES India, Christoph Mohr, mengatakan bahwa pada tahun 2025, FES India "tidak bekerja pada isu seputar kawasan sekitar India, terutama Pakistan, dan juga tidak menjalankan mekanisme perdamaian regional apa pun." Fokus kerja FES India dalam kebijakan luar negeri kini pada hubungan bilateral dengan Jerman dan Uni Eropa, perdagangan, serta posisi India di panggung global.
Tantangan bagi Sektor LSM di India
Pemerintahan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi juga turut memberi tekanan pada LSM asing yang beroperasi di India. Pada tahun 2018, keputusan pemerintah India untuk mengubah Foreign Contribution Regulation Act (FCRA) membuat banyak organisasi kehilangan izin operasional mereka, sehingga menyebabkan berbagai inisiatif perdamaian kekurangan sumber daya yang dibutuhkan.
Salah satu kelemahan dari diplomasi jalur kedua adalah pendekatannya yang masih terbatas pada kalangan elit, dan belum mampu menjangkau masyarakat umum. "Generasi muda saat ini lebih banyak dibentuk oleh konten kebencian yang viral ketimbang memori bersama tentang peristiwa pemisahan India dan Pakistan. Kesenjangan ini berbahaya," kata Rita Manchanda dari PIPFPD. Ia merujuk pada peristiwa pemisahan India setelah berakhirnya penjajahan Inggris pada 1947, yang menciptakan negara India dan Pakistan serta menyebabkan jutaan orang terusir dari tanah kelahirannya. "Meski begitu, masih ada secercah harapan lewat inisiatif-inisiatif baru yang dipimpin anak muda, yang mencoba menghidupkan kembali ketertarikan terhadap warisan bersama," tambahnya.