Ekonom INDEF Desak Pemerintah Lakukan Deregulasi untuk Lindungi Industri Padat Karya
Pemerintah didesak untuk melakukan deregulasi kebijakan yang menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama yang berdampak pada industri padat karya. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti potensi tekanan fiskal yang signifikan akibat implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang dinilai dapat mengancam keberlangsungan industri padat karya, memperluas pasar rokok ilegal, dan menurunkan penerimaan negara dari cukai.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, Rizal Taufikurahman, menekankan perlunya pengkajian ulang kebijakan tersebut secara menyeluruh. Menurutnya, arahan Presiden untuk menderegulasi kebijakan yang menghambat ekonomi adalah langkah strategis dalam merespons ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri.
Namun, Rizal mengingatkan bahwa deregulasi tidak boleh disalahartikan sebagai pelonggaran tanpa arah. Sebaliknya, deregulasi harus menjadi proses penataan ulang regulasi agar lebih responsif dan sesuai dengan kondisi terkini. Ia menilai bahwa PP 28/2024 masih minim partisipasi bermakna dalam proses perancangannya. Pemerintah perlu melakukan audit regulasi lintas sektor secara komprehensif, terutama pada sektor padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja, seperti industri tembakau dan makanan-minuman.
Walaupun PP 28/2024 bertujuan untuk memperkuat aspek kesehatan masyarakat, Rizal berpendapat bahwa implementasi kebijakan seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan larangan pemajangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging), dapat menimbulkan risiko besar bagi industri tembakau nasional. Ia khawatir bahwa aturan zonasi penjualan dan pelarangan iklan yang terlalu ketat dapat mengganggu rantai distribusi, menurunkan omzet pelaku usaha ritel, dan memicu gelombang PHK, terutama di sektor buruh linting dan petani tembakau.
Rizal menekankan pentingnya pemerintah melihat industri tembakau sebagai ekosistem ekonomi yang kompleks dan padat karya, bukan hanya dari sisi konsumsi. Selain ancaman PHK, pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dan wacana aturan turunannya juga berpotensi memperlemah industri legal dan memperluas pasar rokok ilegal. Rokok ilegal tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak negatif pada penerimaan negara. Rizal mengingatkan bahwa wacana ini dapat menurunkan daya tarik produk legal dan memperbesar ceruk pasar bagi rokok ilegal yang tidak menyumbang cukai.
Dengan kontribusi cukai hasil tembakau terhadap APBN yang mencapai rata-rata Rp 218 triliun per tahun, Rizal memperingatkan bahwa pergeseran konsumsi ke produk ilegal dapat menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan hingga puluhan triliun rupiah per tahun. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini berisiko menciptakan lubang fiskal yang signifikan.
Rizal mengusulkan solusi yang lebih efektif daripada sekadar memperketat regulasi, yaitu memperkuat pengawasan dan edukasi publik. Ia juga menyoroti bahwa upaya pembangunan ekonomi menuju target pertumbuhan ekonomi 8 persen akan sangat bergantung pada kontribusi sektor manufaktur dan padat karya, termasuk tembakau. Kebijakan yang terlalu restriktif tanpa roadmap yang jelas dapat membawa dampak buruk bagi industri ini, yang menopang ekosistem ekonomi dari hulu ke hilir, mulai dari petani, buruh linting, logistik, ritel, hingga penerimaan fiskal negara.
Rizal menyerukan kepada pemerintah untuk meninjau ulang pendekatan 'one size fits all' terhadap sektor tembakau dan lebih mengedepankan model kebijakan yang proporsional, berbasis data, dan inklusif. Keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi harus menjadi fondasi utama dalam proses perumusan regulasi industri tembakau.