Kekhawatiran Industri: Pelonggaran SVLK Ancam Reputasi Kayu Indonesia di Pasar Global

Kebijakan relaksasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) kembali menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Kalangan industri dan pemerhati lingkungan khawatir bahwa langkah ini dapat merusak citra positif kayu Indonesia di mata dunia dan membuka celah bagi praktik ilegal.

Dalam sebuah diskusi publik yang diadakan di Jakarta, Rabu (28/5/2025), juru kampanye dari organisasi nirlaba Kaeom Telapak, Deny Bahtera, mengungkapkan kekhawatiran mendalam terkait wacana relaksasi SVLK. Menurutnya, pelonggaran aturan ini berpotensi besar mencampurkan kayu legal dengan kayu ilegal, sehingga merusak reputasi yang telah susah payah dibangun.

SVLK sendiri merupakan sistem yang dirancang untuk memastikan kayu dan produk kayu yang beredar di Indonesia berasal dari sumber yang legal dan dikelola secara berkelanjutan. Sistem ini menjadi jaminan bagi konsumen global bahwa produk kayu dari Indonesia memenuhi standar yang ketat dan tidak berkontribusi terhadap deforestasi.

Deny menjelaskan bahwa relaksasi SVLK bukan kali pertama dilakukan. Sebelumnya, pada tahun 2015 dan 2020, pemerintah sempat melonggarkan aturan ini dengan tujuan meningkatkan daya saing dan mengatasi dampak pandemi Covid-19. Namun, wacana relaksasi terbaru dinilai lebih mengkhawatirkan karena berpotensi menghilangkan kewajiban dokumen legalitas untuk ekspor kayu ke negara-negara di luar Eropa dan Inggris.

"Tanpa kewajiban dokumen legalitas, kredibilitas kayu Indonesia sebagai produk yang berkelanjutan akan dipertanyakan. Tidak ada lagi pembuktian bahwa kayu tersebut legal dari segala aspek dan dikelola dengan prinsip keberlanjutan," tegas Deny.

Ia juga mengingatkan pengalaman pahit di tahun 2016, ketika relaksasi SVLK pertama kali diterapkan. Saat itu, terjadi penyalahgunaan Deklarasi Ekspor (DE) untuk memenuhi persyaratan ekspor, membuka peluang bagi kayu ilegal dari sumber yang meragukan, termasuk hutan lindung, untuk masuk ke pasar.

Di tengah upaya global untuk memperketat regulasi ekspor, Deny menilai bahwa Indonesia seharusnya mempertahankan dan memperkuat SVLK. Ia menyoroti bahwa banyak negara tropis lain justru berupaya membangun sistem legalitas yang setara dengan Indonesia. "Jika relaksasi ini disahkan, ini menjadi kemunduran, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga dalam aspek keberlanjutan yang selama ini telah dijaga," katanya.

Senada dengan Deny, ahli kehutanan Diah Suradireja menekankan pentingnya SVLK sebagai modal utama bagi Indonesia dalam menghadapi kebijakan Uni Eropa terkait Deforestation-free Products Regulation (EUDR). Ia menyebutkan bahwa dari lima komoditas ekspor unggulan Indonesia, komoditas kayu dengan regulasi SVLK adalah yang paling siap bersaing secara global.

Diah juga memperingatkan bahwa relaksasi SVLK dapat menurunkan kepercayaan pasar dunia terhadap produk kayu Indonesia. Hal ini berpotensi merugikan usaha kecil dan menengah (UKM) serta produsen kayu yang selama ini mengandalkan reputasi baik SVLK. Tanpa sistem legalitas dan keberlanjutan yang konsisten, industri kehutanan dikhawatirkan akan terganggu, dan praktik pembalakan liar serta deforestasi bisa meningkat.

"Saat dunia menuntut transparansi dan keberlanjutan, langkah pemerintah melonggarkan regulasi justru kontraproduktif. Alih-alih melakukan relaksasi, Indonesia seharusnya memperkuat SVLK agar tetap kompetitif secara global dan dapat mewariskan hutan kepada generasi berikutnya," tegas Diah.

Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari mitra dagang internasional terkait wacana relaksasi SVLK. Namun, polemik ini perlu segera diselesaikan agar tidak merusak reputasi Indonesia sebagai negara dengan regulasi kehutanan yang kredibel.