Pemangkasan Anggaran LPSK: Ancaman Berat bagi Perlindungan Saksi dan Korban

Pemangkasan Anggaran LPSK: Ancaman Berat bagi Perlindungan Saksi dan Korban

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tengah menghadapi krisis akibat pemangkasan anggaran yang signifikan. Kondisi ini telah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kemampuan LPSK dalam menjalankan mandatnya untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana, khususnya dalam konteks penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Pemotongan anggaran yang drastis, dari semula Rp 229 miliar menjadi hanya Rp 107,7 miliar setelah negosiasi intensif, telah memaksa LPSK untuk melakukan efisiensi besar-besaran yang berdampak pada kualitas dan cakupan layanan yang diberikan.

Pengurangan anggaran tersebut telah memaksa LPSK untuk menerapkan kebijakan kerja dari rumah (WFH) di hari Kamis dan Jumat, mengurangi jumlah perjalanan dinas, dan menyederhanakan mekanisme permohonan perlindungan. Hal ini menjadi tantangan mengingat jumlah permohonan perlindungan saksi dan korban terus meningkat, mencapai 10.217 permohonan pada tahun 2024. Dengan keterbatasan anggaran, LPSK hanya mampu memproses 60-80 persen dari total permohonan, sisanya terpaksa ditolak atau ditunda. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan menurunnya akses keadilan bagi para korban dan melemahnya proses penegakan hukum.

Dampak Pemangkasan Anggaran terhadap Layanan LPSK:

  • Perlindungan Fisik: Jumlah personel yang dikerahkan untuk perlindungan fisik saksi dan korban, khususnya dalam kasus-kasus berisiko tinggi seperti justice collaborator (JC) narkotika, telah berkurang drastis. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas perlindungan dan berpotensi meningkatkan risiko terhadap keselamatan saksi dan korban.
  • Bantuan Medis: Anggaran untuk bantuan medis, yang dapat mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per kasus, sangat terbatas. LPSK terpaksa menegosiasikan harga dengan penyedia layanan medis atau bahkan mengandalkan layanan pro bono. Ini dapat menyebabkan penundaan perawatan dan menghambat pemulihan korban.
  • Pendampingan Hukum dan Psikososial: Pemangkasan anggaran juga berdampak pada keterbatasan dalam penyediaan layanan pendampingan hukum dan psikososial. Layanan-layanan penting ini krusial bagi pemulihan korban, terutama dalam kasus-kasus kekerasan seksual, KDRT, dan terorisme.
  • Kompensasi Korban Terorisme: Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk memperpanjang masa pemberian kompensasi bagi korban terorisme hingga 2028 terancam tidak terealisasi secara optimal karena keterbatasan anggaran. Asesmen lapangan yang krusial untuk menentukan besaran kompensasi juga terhambat.
  • Operasional Kantor: LPSK terpaksa melakukan penghematan biaya operasional, termasuk mengurangi penggunaan ruang kerja dan listrik. Hal ini menunjukkan betapa kritisnya situasi keuangan yang dihadapi lembaga ini.

Suara dari Pihak Terkait:

Ketua LPSK, Achmadi, menyatakan bahwa pemangkasan anggaran ini merupakan tantangan besar bagi LPSK dalam menjalankan tugasnya. Beliau menjelaskan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan perlindungan dan pemulihan korban, termasuk pengadaan alat-alat spesifik dan pembangunan pusat pelatihan. Sementara itu, Ketua Ikatan Pegawai LPSK, Tommy Permana, menekankan bahwa pemangkasan anggaran sekitar 60% berdampak signifikan pada kualitas perlindungan saksi dan korban. Para peneliti dan pendamping korban juga menyuarakan keprihatinan yang sama, menekankan pentingnya peran LPSK bagi para korban dan dampak negatif dari pemangkasan anggaran terhadap akses keadilan.

Kesimpulan:

Pemangkasan anggaran LPSK merupakan ancaman serius bagi perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Keterbatasan anggaran tidak hanya menghambat operasional LPSK, tetapi juga mengancam hak-hak korban dan berpotensi melemahkan proses penegakan hukum. Pemerintah perlu segera mengatasi permasalahan ini untuk memastikan keberlanjutan perlindungan saksi dan korban, serta tegaknya keadilan di negara ini.