DPR Percepat Pembahasan RUU KUHAP: Upaya Sinkronisasi Hukum Pidana Nasional

Percepatan Pembahasan RUU KUHAP di DPR RI

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menunjukkan komitmen kuat untuk segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Langkah ini diambil sebagai upaya krusial dalam menyelaraskan sistem hukum pidana nasional, khususnya menjelang pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 1 Januari 2026.

Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, mengungkapkan bahwa pimpinan DPR telah memberikan izin untuk melaksanakan rapat dengar pendapat dan pembahasan revisi KUHAP selama masa reses. Menurutnya, percepatan ini dipicu oleh adanya dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pembahasannya sangat bergantung pada penyelesaian Revisi KUHAP, yaitu RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Polri.

"Jadi semua nunggu KUHAP. Nunggu KUHAP. KUHAP-nya selesai. Makanya KUHAP dikebut, minta izin rapat-rapat pada saat reses," ujar Adies Kadir.

Meski demikian, Adies menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang secara resmi mengajukan izin untuk mengadakan rapat terkait revisi KUHAP selama masa reses. Masa reses DPR RI sendiri berlangsung mulai 28 Mei 2025 hingga 23 Juni 2025.

Target Penyelesaian Sebelum 2026

Komisi III DPR RI telah memulai serangkaian rapat dengar pendapat untuk menyusun draf revisi KUHAP sebelum memasuki masa reses. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, bahkan menargetkan agar revisi KUHAP dapat diselesaikan dan diberlakukan pada 1 Januari 2026, bersamaan dengan pemberlakuan KUHP baru.

"Kita kejar waktu agar per 1 Januari 2026 kita sudah punya KUHAP yang baru, dan sudah berlaku, bersamaan dengan hukum materiilnya, yaitu KUHP baru yang berlaku tanggal tersebut," tegas Habiburokhman.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, yang menekankan urgensi pengesahan RUU KUHAP pada tahun 2025. Ia menjelaskan bahwa RUU KUHAP memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP. Contohnya, pasal-pasal terkait penahanan dalam KUHAP lama tidak akan lagi berlaku efektif sejak 2 Januari 2026. Hal ini berpotensi menimbulkan kekosongan hukum dan menghilangkan legitimasi aparat penegak hukum untuk melakukan penahanan.

Oleh karena itu, KUHAP baru yang selaras dengan KUHP dan lebih relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia menjadi suatu keharusan. Edward Omar Sharif Hiariej juga menyoroti pergeseran paradigma dalam RUU KUHAP yang baru, dari crime control model menjadi due process model. Perubahan ini menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.

Kritik Terhadap Pembahasan di Masa Reses

Di sisi lain, Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengkritik langkah DPR yang berencana membahas revisi KUHAP selama masa reses. Ia berpendapat bahwa hal ini berpotensi mengurangi partisipasi publik dan transparansi dalam proses pembahasan, seperti yang terjadi pada pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya.

Fajri memahami urgensi revisi KUHAP untuk memfasilitasi pembahasan RUU Perampasan Aset. Namun, ia mengingatkan DPR untuk tidak mengabaikan aspek prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang seharusnya mengalokasikan masa reses untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.

Ia menambahkan, masa reses seharusnya dimanfaatkan oleh anggota DPR untuk menjalankan peran sebagai lembaga perwakilan rakyat dan membuka ruang bagi konstituen untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, bukan untuk melaksanakan rapat pembahasan RUU.